Pernah menempati rumah seorang warga bernama Ansori, kemudian pindah lagi ke rumah dikolam milik warga bernama Ali Uteh.
Bahkan pria ini mengaku pernah tidur dikandang sapi.
”Itu kandang sapi yang pernah kutempati, tapi sapinya sudah tidak ada, “ kata Sakri seraya menunjuk sebuah bangunan yang sudah hampir roboh tidak jauh dari gubuknya.
Kemudian Sakri dan keluarganya menempati rumah saudaranya yang bernama Rodam, namun itupun tidak lama karena rumahnya dijual.
Barulah Sakri membangun gubuk ditanah warisan dari orang tuanya berukuran 5 X 10 M.
Untuk biaya hidup sehari-hari, istri Sakri mencari kayu bakar dihutan-hutan sekitar desa.
Kayu bakar inilah yang kemudian dijual dengan harga Rp. 10 ribu /berunang.
Selain menjual kayu bakar, Sakri dan keluarga sering mendapat bantuan dari aparat desa, sanak saudara, dan jiran tetangga.
Diakui Sakri, dia sudah terbiasa hidup susah, yang pentingnya anak-anaknya bisa makan dan sekolah.
Bahkan Sakri pernah tidak makan nasi sebutirpun selama 1 hari, tapi kedua puteranya tetap makan.
Meskipun hidup dalam kekurangan, Sakri rajin beribadah.
Sakri tidak segan menumpang salat di teras rumah tetangga kalau tidak bisa pergi ke masjid.
Kedua puteranya juga tetap mengaji dan sudah hafal surat-surat di juz amma. (Sripoku.com/Leni Juwita)