TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Tiga hacker mahasiswa asal Surabaya yang meretas ribuan sistem elektronik di 44 negara, salah satunya Amerika Serikat (AS), sudah ditangkap FBI yang bekerja sama dengan Polda Metro Jaya.
Mereka merupakan anggota organisasi Surabaya Black Hat, sebuah organisasi kepemudaan di bidang IT berbasis di kota Surabaya.
Baca: Tadinya Mengaku Diperkosa, Bocah Ini Akhirnya Ungkap Siapa Ayah dari Anak yang Dilahirkannya
Polda Metro Jaya juga mengaku masih mencari tiga pelaku lain yang belum tertangkap.
Argo Yuwono, Kabid Humas Polda Metro Jaya menyebutkan pihaknya terus bekerja sama dengan Internet Crime Complaint Center (IC3), dalam menyelesaikan kasus ini.
IC3 adalah badan investigasi utama dari Departemen Keadilan Amerika Serikat (DOJ), Federal Bureau of Investigation (FBI).
Argo menceritakan, proses penangkapan ketiga pelaku ini bermula dari pusat pelaporan kejahatan di New York, Amerika Serikat.
Menurut laporan, puluhan sistem berbagai negara rusak.
Setelah ditelusuri, pelakunya menggunakan IP Address yang berada di Indonesia, tepatnya Surabaya.
Pakar informatika sekaligus Dosen Teknik Informatika, Institut Teknologi 10 November Surabaya, Baskoro Adi Pratomo SKom MKom menuturkan, dalam melancarkan aksinya, hacker memang bisa dilacak melalui IP Address.
"Melacak IP Address gampang-gampang susah. Susahnya ketika mereka menyembunyikan IP atau menggunakan IP orang lain untuk aksi hacking. Bisa saja pelaku lain yang belum ditangkap tidak bisa dilacak IP-nya karena hal itu," kataya mengungkap kemungkinan.
Dosen yang tengah melanjutkan studi S3 di Inggris ini menerangkan, ketika IP bisa dilacak, maka informasi detail bisa didapatkan.
"Kalau sudah ketahuan IP Addressnya pasti diketahui informasi detailnya. Misalnya di mana rumah atau lokasi saat aksi tersebut dilakukan, dilakukan pada jam berapa saja, itu bisa diketahui," tegasnya.
Jebol Sistem di 44 Negara
Sebelumnya, tiga mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta di Surabaya tersebut nekat menyebol sistem keamanan situs digital di 44 negara, termasuk milik pemerintah Amerika Serikat (AS).