Terlebih lagi, prinsip pembangunannya juga memperhatikan perencanaan arsitektur Bali yang membuatnya kuat secara filosofis.
Hirarki ruang dan hirarki ketinggian betul-betul dipertimbangkan.
Dengan istilah lain, posisi patung GWK dirancang letaknya di utama mandala, ruang-ruang pendukungnya berada di madya mandala, dan bagian tepi atau pinggiran letaknya di nista mandala.
"Bagi Pak Nyoman (Nuarta), patung ini yang kedua kalinya berskala besar, pertama monumen Jalesveva Jayamahe di Surabaya yang diresmikan tahun 1995," imbuhnya.
Baca: Jenazah Seorang Pelaku Penyerangan Mapolda Riau Dimakamkan di Desa Pasiran
Mengingat tingginya patung, kata dia, pembangunannya tidak menggunakan perancah (scaffolding).
Sempat mendapat tawaran menggunakan perancah khusus dari Inggris, tetapi biayanya lebih mahal dari harga patungnya.
Akhirnya, pengerjaan patung dilakukan tanpa menggunakan perancah, melainkan dengan menyusun kulit patung dari dalam struktur.
Jadi, strukturnya dikerjakan terlebih dahulu sehingga kulit patung bisa dipasang dari dalam.
"Memang ada bercak kotor pada sambungan-sambungan (las), tetapi nanti akan dibersihkan. Alam akan memelihara patung itu, seperti bangunan yang dibuat dari tembaga, akibat oksidasi membuat warnanya kehijau-hijauan," imbuh Ersat.
Sementara itu, sang maestro patung, Nyoman Nuarta mengaku saat ini dirinya akan lebih sering berada di Bali.
Ia mengungkapkan, beberapa kendala yang dihadapi timnya dalam pembangunan patung GWK antara lain terkait cuaca dan detail patung yang agak rumit.
Selain itu, tower crane yang digunakan hanya bisa mengangkat maksimal 5 ton modul (kulit patung).
Padahal, bulu garuda saja beratnya mencapai 22 ton.
Oleh karenanya, lempengan-lempengan tembaga atau kulit patung harus dipotong-potong dulu agar bisa dinaikkan dengan tower crane.