"Kenapa waktu dulu mau dicalonkan PDIP untuk menjadi kandidat calon gubernur bu Risma tidak mau. Kalau Bu Risma maju, barulah bisa menggunakan cara-cara seperti itu,” terangnya.
Ditambahkan Angga, gerakan Risma dengan cara yang terlalu menggebu-nggebu yang pada puncaknya cenderung menyerang Khofifah menjadi tidak berdampak besar untuk mendulang suara kepada Gus Ipul.
Ini bisa dilihat dari survei terakhir suara di Surabaya antara KIP dan GI imbang. Kemarin (22/6) Hasil survei dari Lembaga Saiful Mujani Research Centre di Kota Surabaya Gus Ipul-Puti dan Khofifah-Emil sama-sama meraih 45% suara. Padahal Pilwali Surabaya 2015 lalu Risma memperoleh 86% suara.
"Cara yang dilakukan Bu Risma ini, tidak terlalu signifikan berdampak pada tingkat keterpilihan Gus ipul,” sebutnya.
Sebagai akademisi yang banyak malang melintang dalam strategi politik di Jawa Timur dan nasional, Angga memberikan saran agar Walikota Surabaya Tri Rismaharini tetap cool dalam berkampanye.
Contoh yang lebih pas bisa dilihat dari seorang Pakde Karwo (Soekarwo, Gubernur Jatim).
Meskipun Pakde Karwo adalah Ketua DPD Partai Demokrat Jawa Timur, namun tidak sekalipun ‘menyerang’ lawan politiknya di Pilgub Jatim 2018 ini.
Baca: Menaker: Investasi SDM Kunci Keberhasilan Bisnis Perusahaan
Pakde Karwo cenderung santai dan soft. Tapi gerakan untuk memenangkan calon yang didukung partainya lebih terukur tepat sasaran.
“Saran saya Bu Risma tetap cool saja dalam berkampanye. Kampanye lebih santai tentu lebih bagus hasilnya. Coba bandingkan dengan Pakde Karwo, yang mendukung Khofifah tapi soft dalam kampanye. Tidak menggebu-nggebu,” pungkas peraih PhD dari the Asian Studies Centre, Murdoch University sekaligus Direktur Centre of Statecraft and Citizenship Studies, Universitas Airlangga tersebut. (Willy Widianto)