TRIBUNNEWS.COM, TABANAN - Saat konser di atas panggung, penampilan I Made Dwi Susila benar-benar terlihat bak preman.
Namun, siapa sangka pria asal Banjar Baluk, Desa Baluk, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana ini adalah seorang penyuluh agama Hindu.
Setiap bulan, vokalis grup band punk Amnesia itu harus memberikan penyuluhan dengan topik-topik agama Hindu di masyarakat.
“Sudah tiga tahun saya jalani sebagai penyuluh agama,” kata pemuda berusia 24 tahun ini saat ditemui di Denpasar, Senin (3/9) petang.
Saat berbincang-bincang dengannya di sebuah warung kopi, Dwi (panggilan akrab Susila) memperlihatkan bagaimana dirinya benar-benar anak punk yang kerap manggung sana-sini demi menjalankan hobi dan kegemarannya.
Dari foto-foto dirinya saat konser punk, terlihat penampilan Dwi tak kalah dari para personel band punk terkenal di Bali sekaliber Criminal Asshole, Djihard, Natterjack, The Dissland, dan lain-lain.
Saat kali pertama menghubungi Dwi, Tribun Bali harus mengatur jadwal bertemu dengan dia karena Dwi harus menyiapkan manggung dalam Charity Concert For Lombok yang digelar di Pantai Seseh, Munggu, Badung, Minggu (2/9) sore itu.
Pada hari bersamaan pula, dia harus menyelesaikan laporan yang mesti disetorkannya sebagai penyuluh agama ke Kementerian Agama.
Punk sudah merasuki jiwa Dwi sejak dirinya masih duduk di bangku SMP. Waktu itu, Dwi cuma mengenal punk sebatas gaya berpakaian, dan genre musik.
Setelah lama menikmati gaya hidup demikian, Dwi kemudian menikmati lirik-lirik lagu punk yang terkenal.
Lelaki yang kini kuliah S2 di Institut Hindu Dharma Indonesia (IHDN) itu akhirnya membuat band dengan nama Amnesia.
Setelah tamat S1 di IHDN, Dwi melamar sebagai penyuluh agama Hindu dalam program Kementerian Agama.
Waktu itu, lamarannya lolos, dan Dwi pun diterima sebagai penyuluh agama. Ia diwajibkan menggelar penyuluhan agama minimal 8 kali sebulan.
Bersama timnya, Dwi mengaku dirinya kerap diminta sebagai pembicara mengenai topik keagamaan, karena ia merupakan lulusan dari IHDN.
Bekerjasama dengan Bendesa Adat Berawan Tangi, Jembrana, Dwi biasanya menggelar penyuluhan agama Hindu kepada masyarakat sembari menggelar sangkep (rapat).
Topik-topik yang ia bawakan biasanya seputar hari raya keagamaan, seperti makna dan filosofi tumpek landep, galungan, purnama, dan tilem.
“Misalnya, hari raya tumpek landep kan terkenal dengan otonan motor. Padahal kan tidak seperti itu. Nah di sanalah saya memberikan materi apa sih sebenarnya hari tumpek landep itu, sehingga masyarakat tidak keliru memahaminya,” tutur punker yang sudah memiliki satu album musik punk itu kepada Tribun Bali.
Pria penuh tato di lengan dan dadanya itu juga bercerita bahwa dirinya tak menutupi identitasnya sebagai anak punk saat memberikan penyuluhan agama di hadapan masyarakat, baik bapak-bapak maupun ibu-ibu PKK.
Namun ia juga kadang harus memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang apa itu punk.
Selama tiga tahun menjadi penyuluh agama, tak jarang ia mendapat cibiran dari teman-temannya baik di kantor, kampus, dan di masyarakat.
“Mimih, kene goban penyuluh agamane? (Aduh, seperti ini wajah seorang penyuluh agama?),” kata Dwi menirukan ucapan teman-temannya seraya tertawa.
Namun, candaaan dan cibiran semacam itu tidak lantas membuat Dwi berhenti sebagai penyuluh agama.
Justru, ia semakin bersemangat belajar mendalami materi-materi yang akan ia berikan saat berceramah atau memberikan dharma wacana.
Dwi juga mengaku suka membaca artikel-artikel tentang agama Hindu, termasuk sering membaca artikel-artikel tentang anak punk, ideologi, gerakan, dan sejarahnya.
Dari membaca buku dan artikel-artikel tentang punk, salah satu yang ia tahu adalah punk ternyata bukanlah sekadar genre musik, melainkan sebuah kebebasan berpikir dan bersikap.
“Punk adalah sekolah, jalanan adalah sekolah, semua orang adalah guru,” kata Dwi.
Saat ini, ia juga sedang berproses membuat sebuah buku tentang punk, dan buku-buku tentang agama yang ia kemas dengan tidak biasa.
“Ya nanti pasti saya terbitkan bukunya. Sekarang masih dalam tahap revisi,” ucap Dwi seraya mengaku akan tetap menjadi punk meski ia sudah di jalan yang berbeda.
“Banyak yang bertanya kepada saya, kok masih jadi anak punk kan sudah jadi penyuluh agama. Punk itu kan yang pakaian acak-acakan, suka di jalanan, dan aliran keras. Apa tidak malu? Ya saya anggap angin lalu saja, yang penting saya meyakini jalan saya,” tandas Dwi.(I Wayan Erwin Widyaswara)
Artikel ini telah tayang di tribun-bali.com dengan judul Kisah Made Susila Pagi Jadi Penyuluh Agama, Malam Jadi Punker,