"Kalau memang tanah ini milik TNI AU, silakan. Warga pun menginginkan solusi, bukan sengketa terus. Warga terbuka untuk penyelesaian. Namun pembongkaran ini merupakan tindak arogansi dan intimidasi. Sama seperti 2014 lalu saya dan keluarga menjadi korban penembakan oleh personel TNI AU," ujar Mustakim.
Saat proses pembongkaran, warga dilarang mendekat ke lokasi. Mustakim mengatakan, ada intimidasi dari personel TNI AU untuk tidak mendokumentasikan perobohan rumah tersebut.
"Warga tidak boleh foto dan merekam video. Kami ditodong oleh 20-an TNI AU yang pegang senjata laras panjang. Ada ponsel warga yang disita karena merekam kejadian. Jangan merekam katanya, nanti takut viral," jelasnya.
Kepala Penerangan Lanud Sri Mulyono Herlambang, Lettu Semadi mengatakan, rumah yang dibangun oleh Rubahudin tersebut berada di atas tanah yang berstatus quo sejak 2011 lalu.
Itu lahan masih sengketa, baik Lanud maupun warga tidak boleh mendirikan bangunan baru. Sudah kami peringatkan secara lisan dan tertulis sejak bulan Juli 2018 namun tidak digubris. Makanya kami berikan tindakan tegas penertiban karena itu aset negara yang harus diamankan," ujar Semadi.
Semadi menegaskan, tidak terjadi bentrok dalam proses penertiban. Pihaknya pun tidak meratakan bangunan tersebut, hanya merobohkan sebagian sebagai peringatan agar masyarakat tidak lagi mendirikan bangunan selama statusnya masih sengketa.
"Lokasinya kurang lebih satu kilometer dari landasan udara. Jelas itu berbahaya dan tidak diperbolehkan adanya pemukiman di radius tersebut di sekitar landasan udara," ujarnya.
Semadi pun mengatakan, tidak melarang warga untuk tinggal dan mendirikan bangunan rumah selama surat-suratnya lengkap dan tanah tak lagi menjadi sengketa.
"Namun selama masih status quo, kami imbau agar warga tidak mendirikan bangunan baru. Kalau tidak, akan kami tertibkan. Untuk bangunan lama, warga masih diperbolehkan tinggal di sana," ujarnya.(Welly Hadinata)