"Tidak mengherankan manusia purba datang ke sini untuk membuat perkakas batu," kata Dr Eleanor Scerri dari Institut Max Planck untuk Ilmu Sejarah Manusia, penulis utama studi ini.
"Situs ini terletak di tanggul andesit yang menonjol yang menjulang di atas dataran sekitarnya. Titik itu merupakan sumber bahan mentah sekaligus lokasi utama untuk survei lanskap yang, saat itu, berada di antara dua sistem sungai utama," lanjutnya.
Lokasi pilihan ini juga tampaknya terus menarik bagi manusia purba yang sampai ke lokasi itu. Lapisan yang mengandung batu yang sama juga ditemukan di atas lapisan padat, mengindikasikan Saffaqah adalah salah satu situs Acheulean termuda yang pernah terdata di manapun.
Hasil penanggalan itu merekam persistensi akhir Acheulean di Semenanjung Arab, dan juga menunjukkan populasi hominin yang belum teridentifikasi menggunakan jaringan sungai yang sudah punah untuk menyebar ke berbagai titik di Arab selama musim hujan.
Hal ini menunjukkan hominin mampu hidup di pinggiran zona layak huni dan memanfaatkan episode "hijau" yang relatif singkat di daerah yang umumnya kering.
Penyebaran hominin ini ke jantung Arab juga dapat membantu menjelaskan betapa gigihnya manusia budaya Acheulean.
"Para hominin ini memiliki banyak sumber daya dan cerdas," tambah Dr Scerri. "Mereka tersebar di seluruh lansekap yang menantang, menggunakan teknologi yang umumnya dianggap kurang kreatif," lanjutnya.
"Kita harus benar-benar disalahkan oleh betapa fleksibelnya, serbaguna dan suksesnya teknologi (Acheulean) ini," tandas Scerri.
Terkait proses uji pertanggalan relatif di situs Saffaqah, para peneliti menggunakan kombinasi teknik penanggalan yang dikenal sebagai metode luminescence.
Trmasuk protokol penanggulangan inframerah-radiofluoresensi (IR-RF) yang baru dikembangkan untuk lapisan penelitian yang kaya kalium.
Metode ini bergantung pada kemampuan mineral tersebut untuk menyimpan energi yang diinduksi radioaktivitas alami dan untuk melepaskan energi ini dalam bentuk cahaya.
"Penerapan penanggalan IR-RF memungkinkan kami untuk mendapatkan perkiraan usia dari sedimen yang sebelumnya sulit dipercaya," jelas Marine Frouin dari University of Oxford, salah satu peneliti yang terlibat dalam program gabungan ini.
Penemuan di Safaqqa ini menimbulkan pertanyaan besar dan sangat menarik. "Salah satu pertanyaan terbesar kami adalah, apakah nenek moyang evolusi kita dan sepupu dekat bertemu dengan Homo sapiens?" kata Profesor Michael Petraglia dari Institut Max Planck.
"Jika ini terjadi di suatu tempat di Arab Saudi, pekerjaan lapangan di masa depan akan didedikasikan untuk memahami pertukaran budaya dan biologi yang mungkin terjadi di sini. Ini periode kritis," lanjut Petraglia.(Tribunjogja.com/ScienceDaily/xna)