TRIBUNNEWS.COM, SUKOHARJO - Ken Setiawan adalah eks anggota Negara Islam Indonesia (NII). Ia berbagi kisah mencari uang lalu disetor ke 'ibu kota' sebesar Rp 14 miliar per bulan.
Di Negara Islam Indonesia (NII), Ken bertugas sebagai perekrut NII. Kepada TribunSolo.com, Ken menceritakan awal mula masuk jadi anggota Negara Islam Indonesia (NII) awal 2000.
"Awal tahun 2000 saya ke Jakarta untuk ikut lomba silat, di situ saya ketemu teman saya yang sudah masuk NII, kita ngobrol dan akhirnya saya membatalkan lomba karate untuk ikut NII," kata Ken, Selasa (18/12/2018).
Ken kemudian diberi tugas sebagai perekrut anggota baru NII. Ia menyasar anak muda yang mudah di konspirasi.
"Kita serang sisi psikologinya, jadi metodenya berbeda-beda kepada setiap orang," ungkap Ken.
Ia mengungkap modus perekrutan yang dilakukannnya menggunakan hukum Islam, yang dikorelasikan dengan realita bangsa Indonesia, sehingga seseorang berfikir jika Indonesia bukan negara yang ideal.
"Contohnya seperti ini, hukum Islam minuman keras itu halal atau tidak, kalau tidak mengapa di Indonesia masih menjual minuman keras, itu contoh sederhananya untuk membuat negara kita seolah-olah tidak ideal," terangnya.
Dengan pola pikir kaum milenial yang masih labil, dengan logika-logika seperti demikian, anak muda menjadi sasaran empuk untuk dicuci otaknya.
Perekrutan dilakukan tidak hanya di lingkungan masjid. Perekrutan juga dilakukan di tempat umum, seperti tempat makan, cafe, mall, dan sebagainya.
Ken menjelaskan, ciri-ciri orang yang sudah masuk anggota Negara Islam Indonesia (NII) akan adanya perubahan perilaku seperti sering meminta uang kepada orang tuanya, menjual benda berharganya, membohongi orang tuanya supaya mendapat uang, pulang malam karena harus mengikuti bimbingan dari Negara Islam Indonesia (NII), dan susah dihubungi.
"Kalau kalangan mahasiswa paling sering bilang ke orang tuanya laptopnya ilang, menabrakkan mobil atau motor temannya, lalu utangnya banyak karena sering pinjam uang," kata Ken.
Ken menjelaskan, untuk mengubah ideologi bangsa ini membutuhkan banyak uang, yang mana setiap tingkatan akan menyetorkan sejumlah uang ke 'Ibu Kota'.
Ibu kota yang dimaksud bukanlah ibu kota Republik Indonesia di Jakarta, melainkan Ibu Kota NII di Indramayu, Jawa Barat.
"Kalau saya dulu, setiap bulan harus setor sebesar Rp 14 miliar ke Ibu Kota, jadi untuk bisa target uang segitu kami menghalalkan harta orang kafir," terang Ken.
Seiring berjalannya waktu, Ken mulai melihat kejanggalan-kejanggalan yang ada di dalam NII.
"NII kan mengkafirkan orang di luar anggota mereka, jadi banyak orang yang hamil di luar nikah atau menikah tanpa mendapat restu orang tuanya," terang Ken.
Sampai akhirnya Ken bertemu temannya yang juga mantan anggota NII, dan mereka mulai bertukar pikiran yang membuat pikiran Ken terbuka pada tahun 2003.
"Di dalam NII kita tidak boleh bertanya, apa pun perintahnya kita tinggal melakukan saja, dan kita juga gak boleh bertanya kepada orang luar. Saat saya sharing dengan beberapa ustadz mengenai pemikiran-pemikiran, saya sadar jika saya salah," terang Ken.
Saat ini Ken sibuk sebagai Ketua NII Crisis Center yang bergerak dibidang rehabilitasi dan pendampingan mantan korban NII dan paham radikal lainnya.
"Kita memberikan pendampingan, karena korban ini biasanya stres, depresi, gila, bahkan jadi atheis."
"Oleh karena itu, kami berusaha membuka pikiran masyarakat untuk kembali menerima korban, dan kami berikan kajian-kajian sesuai syariat Islam," kata Ken.