Tetapi petugas tadi menolak memberinya dan hanya menyerahkannya kepada Tiyong.
Di kantor sendiri saat itu sudah ada Tarmizi MSI atau yang akrab disapa Wak Tar, selaku Ketua DPP PNA yang mengurusi Organisasi, Kader, dan Keanggotaan.
Saat Tiyong tiba, Wak Tar juga belum mengetahui adanya pergantian ketua harian dan sekjen partai.
Setelah paket tanpa nama pengirim dan tanpa nama yang dituju itu diambil, Tiyong membuka paket.
Setelah bungkusan sebanyak tiga lapis itu dibuka, baru kelihatan bahwa isinya ternyata sebuah surat.
Tiyong lantas membaca surat itu. Benar saja, surat yang ditandatangani Irwandi Yusuf pada 5 Agustus 2019 dari balik jeruji besi itu mensahihkan pergantian pucuk pimpinan PNA.
Keputusan Irwandi Yusuf itu ternyata mendapat penolakan dari pengurus partai berlambang orange itu.
Mereka menilai keputusan tersebut tidak sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai.
Sejumlah pengurus harian PNA, M Rizal Falevi Kirani, Tarmizi, dan Nurdin R (Bendahara Umum DPP PNA) kepada Serambi, Senin (19/8/2019), mengaku bahwa pergantian itu cacat hukum.
Menurut mereka, pergantian dilakukan sepihak dan tanpa rapat pleno.
"Setelah kita pelajari, ternyata pergantian itu belum memenuhi kriteria AD/ART dan cacat. Di AD/ART sangat jelas disebutkan bagaimana syarat pengangkatan dan pemberhentian pengurus," kata Falevi.
Bahwa sesuai Pasal 21 ayat (5), dinyatakan bahwa Ketua Umum DPP PNA dapat memberhentikan dan mengangkat Ketua-ketua, Sekretaris Jenderal, Wakil Sekretaris Jenderal, Bendahara Umum, Wakil-wakil Bendahara Umum serta Badan/Lembaga dalam hal melanggar ketentuan dan kebijakan partai sesuai dengan AD, ART, Keputusan Kongres/Kongres Luar Biasa, Rapat Pimpinan Pusat, Rapat Koordinasi Pusat, dan Rapat Kerja Pusat.
"Artinya, pemberhentian pengurus DPP PNA dapat dilakukan hanya apabila yang bersangkutan melanggar ketentuan dan kebijakan partai. Jadi bukan karena alasan penyegaran," tegasnya.
Menurut mantan aktivis yang pernah dipenjara bersama Irwandi di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Keudah, Banda Aceh, ini, semua pengurus partai, termasuk ketua umum harus taat kepada aturan partai.
Setiap pengurus yang diangkat harus terdaftar sebagai anggota partai.
"Presiden saja tidak boleh melanggar undang-undang," timpal Tarmizi.
Tarmizi juga mempersoalkan pengangkatan Muharram karena dinilai bukan anggota partai.
Dia mengatakan, Muharram bukanlah anggota Partai Nanggroe Aceh, tapi sebagai Partai Nasional Aceh yang kepengurusannya berbeda.
"Sikap kita terhadap keputusan ini kita tidak bisa menerima pergantian itu karena melanggar aturan, kita tetap mengakui Tiyong sebagai Ketua Harian dan Miswar sebagai Sekjen PNA," tegas Falevi dan Tarmizi.
Wak Tar melanjutkan, selama keputusan itu dikeluarkan sesuai aturan, pihaknya siap untuk patuh.
Tetapi apabila tidak, maka keputusan itu tidak akan diikuti, karena akan menjadi preseden buruk bagi partai.
"Jika ada surat yang dikeluarkan oleh Darwati, itu tidak sah," ujar dia.
Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Diisukan Jadi Bendahara PNA, Ini Jawaban Steffy Burase