TRIBUNNEWS.COM, PURBALINGGA - Kedatangan bala tentara Jepang ke pemukiman menciptakan teror tersendiri bagi masyarakat.
Deru mobil perang yang memasuki desa membuat jantung bedebar kencang.
Di dalamnya, para serdadu bersenjata siaga dengan muka garang.
Mereka suka merampas hasil bumi yang lahir dari keringat rakyat.
Penjajah juga tak segan membunuh warga yang tidak tunduk pada aturan mereka.
Bagi rakyat jelata, sulit melakukan perlawanan tanpa bekal kemampuan perang maupun persenjataan yang mumpuni.
Mereka memilih lari atau bersembunyi untuk menyelamatkan diri.
Benteng rapat sekalipun, namun didirikan di atas tanah, tak menjamin penghuninya selamat.
Karenanya, tempat rahasia perlu dicipta di bawah tanah.
Keberadaannya mesti tersembunyi, hingga penjajah terkelabuhi.
Ini pula yang dilakukan oleh masyarakat Desa Selakambang Kecamatan Kaligondang Purbalingga semasa pendudukan Jepang dahulu.
Warga membuat tempat yang mereka yakini paling rahasia.
Mereka menggali tanah dan menciptakan lubang di dalamya.
Di bawah permukaan tanah itu, mereka membuat lorong serupa goa yang bisa menampung puluhan hingga ratusan orang.
Tempat rahasia itu tak akan terlihat oleh serdadu Jepang yang melitas di atasnya.
Bunker buatan rakyat itu masih berada setelah Jepang terusir dari bumi pertiwi.
Seiring perjalanan waktu, bangunan itu lantas ditutup untuk pembangunan rumah pemilik lahan.
"Di bawah rumah ini, goa (bunker) aslinya yang dulu dibuat warga untuk sembunyi," kata Sulung Purnomo pemilik rumah di lahan bekas bunker
Kusno dan putranya, Sulung Purnomo belakangan membuat kembali replika bunker itu di lahan belakang rumah.
Mereka melubangi lahan miring di belakang rumah dengan dua pintu untuk masuk dan keluar.
Bangunan itu dibuat leter U dengan lorong utama sepanjang sekitar 10 meter.
Menurut Sulung, tempat persembunyian itu dibuat semirip mungkin dengan aslinya.
Dalam merancang bangunan itu, pihaknya melibatkan saksi hidup yang bisa masih mengingat bentuk bunker dan riwayatnya di masa pendudukan Jepang.
Sulung mengisi lorong dalam bunker itu dengan benda-benda kuno, utamanya yang sezaman dengan pendudukan Jepang di Indonesia.
Benda-benda kuno itu ia kumpulkan dari warga yang sebelumnya menyimpannya di rumah masing-masing.
Ia menata benda itu di dinding-dinding lorong hingga terlihat seperti museum benda kuno.
Ada bermacam perabot rumah tangga tempo dulu, semisal wadah minuman, gerabah, hingga beberapa pedang peninggalan perang dunia kedua.
Di antara benda-benda itu, ada satu yang paling membuat merinding.
Sebuah pedang di era pendudukan Jepang masih utuh terpelihara.
Konon, pedang itu dahulu dipakai rakyat untuk memenggal kepala tentara Jepang.
"Konon ini dulu digunakan untuk memenggal kepala tentara Jepang,"katanya
Replika bunker itu tidak lah luas.
Memang, dalam kondisi di bawah ancaman perang, tak mungkin rakyat leluasa membangun bunker besar yang memuat banyak orang.
Memasuki bunker ini serasa masuk ke lorong waktu.
Memori pengunjung langsung dibawa ke masa lalu saat bunker asli masih berfungsi.
Lorong yang sempit membuat kondisi ruangan agak pengap.
Terbayangkan, bagaimana jika ruangan itu berjejalan banyak orang.
Kondisi ini mungkin nyata terjadi saat bunker asli masih aktif digunakan warga dulu.
Saat itu belum ada pengeras suara untuk membagi informasi atau pengumuman penting ke masyarakat.
Padahal, kedatangan serdadu Jepang ke desa harus diketahui semua masyarakat.
Sehingga, penduduk desa bisa bersiap menyelamatkan diri.
Warga tak kurang akal.
Mereka menggunakan Lesung dan Kentongan untuk media pengumuman.
Ada yang mengintai kedatangan tentara Jepang ke desa.
Saat para serdadu masuk ke desa, warga meneruskan informasi itu ke penduduk dengan cara membunyikan Lesung dan Kentongan.
Melalui bunyian itu, warga menangkap pesan bahwa tentara Jepang mulai masuk pemukiman hingga bahaya mengancam.
Saat itu, warga berlarian untuk mencari tempat perlindungan.
Sebagian masuk ke lorong bawah tanah (bunker) yang telah mereka siapkan untuk tempat sembunyi.
Penduduk dari berbagai kalangan usia harus berjejalan dalam ruangan yang sempit hingga berjam-jam.
Bukan hanya menahan haus lapar, mereka harus bertahan dari situasi serba tak nyaman dalam ruang yang pengap.
Segala macam suara harus diredam agar tak ketahuan tentara Jepang.
Rakyat tak akan keluar sampai tentara Jepang pergi meninggalkan desa hingga situasi di luar aman.
Warga lain akan membunyikan Lesung dan Kentongan kembali sebagai petanda musuh telah pulang.
Saat itu, penduduk mulai meninggalkan bunker dengan perasaan lega.
Meski bahaya tetap mengintai sepanjang waktu, hingga para penjajah terusir dari bumi pertiwi.
"Goa ini dinamakan Dung Tang. Dung dari bunyi lesung, dan Tang berasal dari Kentongan,"katanya. (aqy)
Artikel ini telah tayang di Tribunjateng.com dengan judul Sulung Bangun Kembali Bunker yang Telah Terkubur, Tempat Sembunyi Rakyat dari Serdadu Jepang, https://jateng.tribunnews.com/2019/09/12/sulung-bangun-kembali-bunker-yang-telah-terkubur-tempat-sembunyi-rakyat-dari-serdadu-jepang?page=all.