"Mereka digaji kecil dan tidak pantas.
Ada yang berlayar hingga 40 hari, hanya membawa uang Rp 400.000.
Padahal aslinya Rp 1 juta, namun sudah terkena potongan biaya hidup selama di laut dan sebagainya.
Ini tidak adil," tandasnya.
Selain itu, nelayan buruh ini tidak memiliki Perjanjian Kerja Laut (PKL), jam kerja tidak jelas, gaji tidak dibayar sesuai perjanjian.
Makelar hitam membidik pengangguran muda tanpa ijazah sekolah dengan iming- iming gaji yang tinggi.
Karena itu, pemerintah diminta menghentikan tindakan perbudakan dalam bisnis perikanan yang culas tersebut.
Pihaknya juga memiliki sejumlah mekanisme model yang bisa dipakai dengan dukungan pemerintah agar eksploitasi pekerja itu bisa ditekan.
"Ada model pencegahan lewat edukasi.
Pencegahan ini, bisa dibangun berbasis masyarakat.
Mereka diberikan kesadaran dulu agar tidak tergiur iming- iming tinggi, mengunakan jasa penyalur tenaga kerja yang legal, dan harus ada kontrak kerja jelas," tegas Roosa.
Yang paling penting, kata dia, ada kerjasama dari pemerintah provinsi dengan membuat peraturan daerag yang diharmoniskan dengan Undang- Undang terkait perlindungan dan jaminan kesejahteraan dan keselamatan buruh kapal perikanan.(mam)
Artikel ini telah tayang di Tribunjateng.com dengan judul Upah Tak Layak hingga Ancaman Dibunuh, Inilah Kisah Perbudakan Awak Kapal Perikanan dari Jateng, https://jateng.tribunnews.com/2019/10/18/upah-tak-layak-hingga-ancaman-dibunuh-inilah-kisah-perbudakan-awak-kapal-perikanan-dari-jateng?page=all.