Namun pada masa lalu, kepercayaan dan tradisi semacam itu masih ada tahun 1960-an.
Seiring dengan perkembangan ajaran agama baru, kebiasaan dan kepercayaan tersebut sudah ditinggalkan.
"Dempo itu asal katanya "diempukan". Artinya ditinggikan, disucikan atau dimuliakan. Sekarang sudah tidak demikian, bahkan tradisi sudah ditinggalkan," kata Vebri.
Menurut dia, pemaknaan dimuliakan, ditinggikan dan disucikan tersebut terkait masa lalu.
Sebagaimana ketika masih zaman Hindu-Budha, kepercayaan terhadap leluhur atau kepercayaan animisme-dinamisme masih berkembang.
Erwan Suryanegara juga mengatakan patung-patung artefak megalitik selalu menghadap ke gunung atau ke sungai.
Pada kepercayaan pemujaan terhadap leluhur di era megalitik, gunung dan sungai merupakan tempat bersemayam leluhur yang harus dihormati.
"Setelah perkembangan masyarakat dengan masuknya agama baru, tradisi itu mulai berubah dan menyesuaikan dengan yang baru," kata dia.
Dempo Meletus Era Prasejarah
Budayawan Sumsel Erwan Suryanegara pernah melakukan pencarian data terkait kapan pertama kali atau keberapanya Ggunung Dempo meletus.
Pencarian data sejak 2004 lalu, hasilnya belum ditemukan adanya catatan mengenai gunung dengan puncak tertinggi 3159 mdpl itu meletus.
Dari pencarian tersebut, ia berkesimpulan meletusnya gunung Dempo sebelum era tertulis atau prasejarah.
Hal ini bisa dibuktikan dengan penelitiannya mengenai sebaran batu andesit yang banyak dipahat menjadi dolmen, menhir, lumpang batu dan lain sebagainya.
Batu andesit sendiri terbentuk dari luapan lava dari letusan gunung merapi yang membeku.