"Kebutaan yang dialami memastikan kalau Paguh tidak akan dilepasliarkan ke habitatnya meskipun pulih total," tandas Meuthya.
Kasus yang dialami Paguh bukanlah kasus pertama.
Supervisor Program Rehabilitasi dan Reintroduksi Orangutan YEL-SOCP, dokter hewan Citrakasih Nente, mengatakan ia pernah menerima orang utan yang terdapat 100 lebih butir peluru di tubuhnya.
Selama 10 tahun terakhir, YEL-SOCP telah menerima sekitar 20 orang utan terkena senapan angin.
“Perlu keseriusan pihak berwenang untuk menertibkan penggunaan senapan angin, untuk memastikan kejadian yang dialami Hope dan Paguh tidak terus terulang,” kata Citra, Kamis, dilansir Kompas.com.
Paguh merupakan jenis Pongo abelii yang berbeda dengan orang utan Borneo (Pongo pygmaseus) dan orang utan Tapanuli (Pongo tapanulienses).
Habitat Paguh dan kawan-kawan ada di ekosistem Batangtoru, Sumatera Utara.
Saat ini, spesies Paguh dan dua lainnya masuk dalam daftar merah (sangat terancam punah) oleh International Conservation Union (IUCN).
Karena itu, Pongo dan kawan-kawan masuk dalam jenis satwa liar dilindungi.
Sesuai Undang-undan Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Pasal 21 ayat (2) huruf (a) jo Pasal 40 (u).
Orang yang melanggar undang-undang tersebut akan dikenakan sanksi pidana penjara maksimal lima tahun dan denda Rp 100 juta.
Kisah Hope, orang utan yang diberondong 74 peluru senapan angin
Penyiksaan terhadap orangutan dengan menggunakan senapan angin terjadi di Subulussalam, Aceh.
Penyiksaan itu mengakibatkan satu ekor bayi orangutan jantan yang berusia satu bulan mati.