Yang pertama adalah dengan berdiskusi ketika konflik antaragama masih bersifat ringan.
"Kalau ada orang yang merasa tidak suka macam-macam, ya itu ada dua cara," kata Choirul.
"Kalau masih sebatas tidak sukanya dilontarkan dengan kata-kata dan juga kata-katanya tidak menyakiti, ya dialog," jelasnya.
Cara berikutnya adalah untuk konflik agama yang sudah menimbulkan kekerasan.
Maka permasalahan ini harus dibawa ke ranah hukum untuk diselesaikan.
"Tapi kalau sudah dengan tindakan kekerasan ya penegak hukum yang datang menyelesaikan itu," lanjutnya.
"Kalau tidak, wajah konstitusi kita adalah wajah yang gagal menjaga semangat toleransi di negeri ini," pungkasnya.
Komnas HAM Sebut Pelarangan Natal Tetap Terjadi
Sebelumnya, Choirul menanggapi kabar bahwa pelarangan merayakan Natal itu sebenarnya tidak benar terjadi.
Choirul memandang, meski kabar pelarangan merayakan Natal itu tidak disertai surat perintah resmi, namun tetap saja ada imbauan agar umat Kristen tidak merayakan Natal di sana.
"Memang, kalau kami menganggapnya memang ini ada pelarangan walaupun tidak harus bersifat formal begitu ya, tidak ada surat, macam-macam, tapi imbauan itu agar tidak merayakannya," ujar Choirul.
Choirul mengungkap penyebab dari kasus ini adalah tidak adanya gereja yang berdiri tetap secara resmi di dua kabupaten itu.
"Memang akar masalahnya adalah soal rumah ibadah, lah ini yang menurut kami memang harus ada jalan keluar," ungkapnya.
Ia kemudian menyinggung soal Peraturan Bersama Menteri (PBM) antara Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri mengenai pendirian rumah ibadah.