Ada seorang pria, misalnya, diungsikan dalan keadaan sejumlah rusuk terluka dan menyisakan lubang menganga di dada dekat paru-parunya.
Luka tersebut meninggalkan bau busuk di kabin pesawat.
Ritme kerja para relawan air lift sangat melelahkan, tanpa kepastian waktu take off ataupun landing.
Sepanjang hari mereka mengangkut obat-obatan, pasokan logistik, dan para relawan yang ke Aceh; pulangnya mengangkut pengungsi terluka, para warga lanjut usia, dan anak-anak.
Dua bulan pascatsunami kondisi Aceh sudah jauh lebih baik.
Maklum, banyak relawan asing ikut bekerja keras mengevakuasi dan menolong korban yang masih bisa diselamatkan.
Baca: Kenapa Facebook dan Twitter Hapus Jutaan Akun Pendukung Presiden Donald Trump?
Baca: Deretan Foto Salmafina Sunan Rayakan Natal Pertamanya, Kunjungi Amerika Hingga Ditemani Pria Bule
Relawan asing ini berasal dari LSM, badan dunia, militer, dan individu.
Mereka sangat membantu meringankan penderitaan warga.
Amerika Serikat bahkan mengerahkan kapal induk USS Abraham Lincoln beserta belasan pesawat terbangnya untuk mengirim bantuan yang tidak bisa dijangkau melalui jalan darat.
Kehadiran personel militer itu benar-benar menyejukkan suasana, jauh dari kesan angker.
Mereka berbaur dengan relawan lainnya yang berada di tengah-tengah korban tsunami.
Hal serupa juga dilakukan relawan militer Jepang, Singapura, Malaysia, Spanyol, Australia, Jerman, Inggris, dan berbagai negara
lain.
Beragam peralatan medis dan obat-obatan, makanan, minuman, pakaian, selimut, dan kebutuhan lain dibagikan kepada mereka yang selamat dari amukan tsunami. Bantuan dari dalam negeri pun terus berdatangan.
Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Kisah Kapal Induk Amerika USS Abraham Lincoln ketika Tsunami Menerjang Aceh