TRIBUNNEWS.COM - Gempa bermagnitudo 5,1 mengguncang wilayah Sukabumi pada Selasa (10/3/2020) kemarin.
Gempa tektonik yang dipicu oleh aktivitas sesar aktif tersebut terjadi pada Selasa petang, sekitar pukul 17.18.04 WIB.
Menurut Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dr. Daryono, menyebutkan, gempa Sukabumi Selasa (10/3/2020) kemarin merupakan gempa dengan magnitudo paling kuat yang bersumber dari sesar aktif di daratan Jawa Barat dalam 19 tahun terakhir.
"Berdasarkan catatan katalog gempa, tampak bahwa gempa kuat dengan pusat di darat terakhir yang terjadi di Jawa Barat berkekuatan M=5,1 terjadi di Ciamis-Kuningan pada 13 Januari 2001," ungkapnya pada Tribunnews.com, Rabu (11/3/2020) pagi.
Sementara itu, Daryono mengatakan, catatan sejarah gempa di wilayah ini menunjukkan bahwa gempa kuat dan merusak pernah melanda wilayah Cisaat dan Gandasoli Sukabumi pada tahun 1900.
"Gempa saat itu selain merusak permukiman, juga merusak Stasiun Cisaat dan Gandasoli Sukabumi."
"Selanjutnya di wilayah ini kembali terjadi gempa kuat dan merusak yang populer dengan nama Gempa Gandasoli pada tahun 1982," kata Daryono.
Gempa Dipicu Sesar Aktif
Daryono menyebutkan gempa tersebut dipicu oleh aktivitas sesar aktif.
"Hasil analisis menunjukkan bahwa gempa ini diakibatkan oleh aktivitas slip atau pergeseran blok batuan kulit bumi secara tiba-tiba," terang Daryono.
Menurut Daryono, dilihat dari bentuk gelombang gempanya (waveform), tampak jelas adanya gelombang geser (shear) yang cukup nyata dan kuat.
Baca: Update: 173 Warga Kabandungan Mengungsi Pascagempa Sukabumi
"Selisih waktu tiba catatan gelombang P (pressure) dan S (shear) hanya 6 detik, yang menunjukkan bahwa gempa ini merupakan jenis gempa lokal (local earthquake)," tambah Daryono.
Daryono mengatakan, gempa semacam ini biasa dikenal sebagai gempa kerak dangkal (shallow crustal earthquake) yang dipicu aktivitas sesar aktif.
Titik episenter gempa ini terletak pada koordinat 6,81 LS dan 106,66 BT, tepatnya di darat berlokasi di wilayah Kecamatan Kalapanunggal, Kabupaten Sukabumi.
Sementara itu, lokasi stasiun seismik terdekat pusat gempa yang mencatat gempa ini adalah stasiun seismik Palabuhan Ratu dengan kode PJSM.
Ia menyebutkan, stasiun seismik ini adalah stasiun monitoring gempa yang baru saja dibangun BMKG pada tahun 2019 lalu.
Menurut Daryono, keberadaan sensor seismik baru ini memiliki andil dalam menambah akurasi parameter gempa hasil analisis BMKG.
Lebih lanjut, Daryono menuturkan, hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan bahwa gempa ini memiliki mekanisme pergerakan mendatar (strike-slip fault).
Baca: VIDEO Detik-detik Pasca-Gempa Guncang Sukabumi, BNPB Catat Tiga Orang Luka Ringan
"Berdasarkan kondisi geologi dan tataan tektonik di wilayah Jawa Barat bagian selatan ada dugaan bahwa sesar ini memiliki pergeseran ke kiri (left lateral)," tuturnya.
Dengan melihat peta zonasi sumber gempa di wilayah Jawa Barat, Daryono menambahkan, tampak bahwa lokasi episenter gempa ini berada di zona Sesar Citarik.
"Zona sumber gempa sesar aktif ini berada di sebelah barat Sesar Cimandiri, akan tetapi berada di sebelah timur zona sumber gempa Kluster Bogor yang aktif memicu rentetan gempa swarm yang berpusat di Kecamatan Nanggung, Bogor pada bulan Agustus 2019," jelas Daryono.
Hasil Analisis Peta Tingkat Guncangan Gempa
Sementara itu, Daryono menyebutkan, hasil analisis peta tingkat guncangan gempa (shake map) yang dipublikasikan oleh BMKG sesaat setelah gempa menunjukkan bahwa di zona pusat gempa dan sekitarnya menunjukkan warna kuning yang artinya dampak gempa mencapai skala intensitas VI MMI.
Estimasi terjadinya kerusakan akibat gempa oleh BMKG ini sangat akurat yang ditunjukkan dengan bukti terjadinya kerusakan di lapangan.
Data BPBD Provinsi Jawa Barat menunjukan gempa ini menimbulkan kerusakan di beberapa wilayah kecamatan di Sukabumi.
Selain itu, guncangan gempa juga dirasakan di Cikidang, Ciambar, Cidahu dalam skala intensitas IV - V MMI dimana guncangan dirasakan oleh hampir semua penduduk menyebabkan warga berlarian keluar rumah untuk menyelamatkan diri.
Sementara itu, guncangan juga dirasakan di Panggarangan, Bayah, Sukabumi dalam skala intenaitas III MMI dimana guncangan dirasakan seperti ada truk berlalu.
Daryono menyebutkan, gempa Sukabumi ini termasuk gempa tipe II.
Baca: Tiga Orang Alami Luka Ringan Akibat Gempa yang Guncang Sukabumi
Ia menerangkan, gempa tersebut diawali dengan gempa pendahuluan, selanjutnya terjadi gempa utama, dan kemudian diikuti gempa susulan.
Menurut Daryono, sebelum terjadi gempa utama (mainshock) bermagnitudo 5,1 pada Selasa pukul 17.18.04 WIB, telah terjadi aktivitas gempa pendahuluan (foreshock) bermagnitudo 3,1 pada pukul 17.09 WIB.
Setelah terjadi gempa utama, selanjutnya diikuti gempa susulan (aftershock) bermagnitudo 2,4 pada pukul 18.06 WIB.
Daryono menuturkan, ada sejumlah pembelajaran yang dapat diambil dari kasus gempa Sukabumi ini.
"Pertama, di wilayah Indonesia ternyata masih banyak sebaran sesar aktif yang belum teridentifikasi dan terpetakan strukturnya dengan baik.
Identifikasi dan pemetaan sesar aktif ini sangat penting untuk kajian mitigasi dan perencanaan wilayah," terangnya.
Kedua, Daryono menambahkan, mewujudkan bangunan tahan gempa menjadi hal yang penting.
"Ini penting karena banyaknya korban sebenarnya bukan disebabkan oleh gempa, tetapi timbul korban akibat bangunan roboh dan menimpa penghuninya," kata Daryono.
"Membuat bangunan rumah tembok asal bangun tanpa besi tulangan atau dengan besi tulangan dengan kualitas yang tidak standar justru akan menjadikan penghuninya sebagai korban jika terjadi gempa," sambungnya.
(Tribunnews.com/Widyadewi Metta)