TRIBUNNEWS.COM - Siapa yang tak tahu Gang Dolly, tempat lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara yang berada di Kota Pahlawan, Surabaya.
Gang Dolly yang dulunya tempat maksiat kini tekah berubah dan beri manfaat, sejak ditutup Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini pada 19 Juli 2014.
Saat itu, penutupan Gang Dolly mengundang pro dan kontra dari berbagai elemen masyarakat.
Mereka yang kesehariannya bergantung dari Gang Doly menolak keras penutupan tepat lokalisasi ini.
Tak sedikit juga yang pro dengan pemerintah, mendukung penutupan Gang Dolly.
Baca: Football Family eps 2 - Drummer Band Punk Rock Unjuk Kebolehan Soal Pengetahuan dan Skill Sepak Bola
Jarwo, salah seorang masyarakat yang tinggal dan bergantung hidup di kawasan Gang Dolly menolak keras penutupan yang diakukan pemerintah kota ini.
Keseharian Jarwo dengan berjualan kopi, omsetnya perhari mencapai Rp 800 ribu, jika dikalikan satu bulan, Jarwo bisa mendapatkan uang hingga Rp 45 juta.
Tak heran, jika dia bersikeras menolak aksi penutupan ini.
Dia bersama rekan-rekan pekerja Gang Dolly bahkan memiliki perkumpulan, Front Pekerja Lokalisasi, siapa saya isinya ? Gabungan PKL, PSK, dan Mucikari.
Mereka begerak dan bekerjasama untuk menggagalkan upaya pemerintah kota menutup Gang Dolly.
Aksi penghadangan terhadap petugas, demo, dan lainnya, dijelaskan secara rinci oleh Jarwo dalam serial Blusukan Butet Kertaredjasa yang tayang di Mola TV.
Bahkan hingga saat ini Jarwo masih menyimpan kenangan saat melakukan aksi yang kini memberinya hasil lebih baik, yakni kaos dan sirine.
Diakuinya, sirine dulu digunakan sebagai tanda panggilan untuk melakukan penghadangan terhadap aparat yang akan memasuki kawasan Gang Dolly.
Kini situasinya telah berbeda, Jarwo yang sempat melarikan diri pasca aksi yang dia lakukan ketika melakukan penghadangan mulai menikmati hasil dari manfaat penutupan Gang Dolly.