"Negara merugi Rp 8,4 triliun akibat korupsi tahun 2019, maka korupsi masih menggurita di mana-mana," aku dia.
Lebih lanjut dia menerangkan, ada sejumlah penyebab mengapa budaya korupsi belum musnah di Indonesia meskipun reformasi yang dilakukan untuk perubahan lebih baik menapaki 22 tahun lamanya.
"Ada serakah, jadi gak pernah nerimo (terima), kebutuhan untuk menunjang hidup, kesempatan hingga pengungkapan kasus yang selama ini terjadi tak sebanding," tuturnya.
"Ada kesan pembiaran, ya weslah rapopo (ya udah tidak apa-apa), kemudian hilang begitu saja," aku dia menekankan.
Maka Prof Ismi berharap 22 tahun reformasi menjadi momentum, sehingga prinsip dasar reformasi agar negara lebih baik bisa dijalankan dengan fokus penanangan yang lebih serius.
Mengingat menurut dia, selama ini penanganan korupsi dinilai tidak ada standarisasi yang jelas, sehingga UU memunculkan multi interpretasi.
"Penegak hukum tidak mempunyai kekuatan absolute dalam menangani kasus korupsi, terlebih ada tekanan," aku dia.
"Belum ada konsistensi penanganan, jadinya kurang berani," terangnya membeberkan.
Anekdot Dibuat untuk Dilanggar
Masih menyambung, Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, Cak Nanto, lebih menyoroti masalah hukum di tengah 22 tahun berjalannya reformasi di Indonesia.
Baca: Anggota DPRD Sumatera Utara Nyaris Berkelahi Dengan Petugas, Pergoki Dugaan Korupsi Bansos Covid-19
Baca: Cegah Korupsi Dana Corona, KPK Awasi Pengadaan Barang, Donasi hingga Bansos
"Yang selama ini terjadi, produk hukum di Indonesia banyak anekdotnya, dibuat untuk dilanggar dan tajam ke bawah tapi tumpul ke atas," paparnya.
"Pascareformasi masih banyak muncul," aku dia mempertanyakannya.
Menurut Cak Nanto, 22 tahun reformasi akan apa lagi, dikatakan olehnya lebih baik masalah kebebasan dan kesetaraan harus nyata diwujudkan bukan malah dihilangkan.
"Gimiknya saja yang berbeda saat ini, sebenarnya sama dengan tahun lalu kamuflase aja, reformasi kamuflase," kata dia.