TRIBUNNEWS.COM– Murziyanti (41) memiliki peran penting dalam kasus pengedaran narkotika yang juga menjerat suaminya, Faisal M Nur.
Murziyanti ternyata menjadi perempuan pertama yang divonis mati dalam kasus narkotika.
Pengadilan Negeri (PN) Idi, Aceh Timur, menjatuhkan vonis mati terhadap bos sabu asal Aceh, Faisal M Nur dan istrinya Murziyanti (41).
Faisal yang kini tengah menjalani hukuman 18 tahun penjara di Lapas Kelas II A, Pekan Baru, terbukti mengendalikan bisnis narkotika.
Sementara istrinya berperan sebagai penghubung antara Faisal dengan jejaring mafia sabu.
Selain itu, Murziyanti juga ikut mengatur skenario pengiriman.
Perannya dianggap sangat dominan, sehingga majelis hakim memutuskan menjatuhkan vonis hukuman mati.
Vonis terhadap Murziyanti dibacakan dalam sidang putusan, Rabu, 17 Juni 2020 lalu.
Sidang dipimpin oleh Hakim Ketua Apriyanti SH MH dan dua hakim anggota yakni, Khalid Amd SH MH, dan Asra Saputra SH.
Baca: Bos Sabu Asal Aceh dan Istrinya Divonis Hukuman Mati, Kendalikan Narkotika di Balik Jeruji Besi
Baca: Perjalanan Kasus Bos Sabu Asal Aceh Hingga Divonis Hukuman Mati, Sang Istri Juga Dihukum Mati
Dalam salinan putusan PN Idi yang diakses Serambinews.com di Direktori Putusan Mahkamah Agung RI, Sabtu (4/7/2020), disebutkan keterlibatan Murziyanti dimulai sekitar pertengahan Juli 2019.
Sore itu waktu Malaysia, Murziyanti mendapat tawaran pekerjaan dari Ijan (DPO, warga negara Malaysia) untuk menyelundupkan 20 kg sabu dari Malaysia ke Indonesia.
Tawaran itu disampaikan oleh Fitriani alias Pit.
Mendapat tawaran itu, Murziyanti menelepon Faisal yang berada di Lapas Kelas II A Pekan Baru, dan Faisal selanjutnya berkomunikasi dengan Fitriani untuk memperjelas informasi tersebut.
Murziyanti kemudian menyerahkan pekerjaan pengiriman sabu kepada Edi Saputra karena Edi memiliki jalur untuk menyelundupkan narkoba dari Malaysia ke Sumatera.
Murziyanti merencanakan tujuan penyelundupan adalah ke daerah Tanjung Balai Asahan, Sumatera Utara.
Berdasarkan rencana tersebut, Edi Saputra menghubungi Saleh alias Apale (DPO) yang bertempat tinggal di Bireuen, yang mengetahui banyak informasi mengenai jalur-jalur transportasi laut Malaysia-Indonesia.
Murziyanti juga sempat bertemu dengan Ijan dan bosnya, Boy (DPO, warga negara Malaysia) membicarakan tentang rencana pelundupkan 20 kg sabu ke Indonesia dan teknis pengirimannya.
Sementara itu, Saleh alias Apale saat berkomunikasi dengan Edi, meminta upah pengiriman sebesar Rp 53 juta untuk setiap kilogram sabu, hingga sampai ke penerima.
Murziyanti setuju atas upah tersebut dan kembali menghubungi Faisal memberitahukan kalau jalur yang dapat dipercaya untuk mengangkut narkotika sudah ada atas rekomendasi dari Edi.
Pengiriman dilakukan melalui perjalanan laut secara estafet, dan tiba di perairan Simpang Ulim, Aceh Timur, pada Jumat, 23 Agustus 2019.
Edi kemudian melanjutkan perjalanan ke Kuta Binjai menemui Murziyanti yang telah lebih dulu kembali ke Indonesia melalui Medan.
Setelah bertemu, pada hari itu juga Edi berangkat ke Palembang Sumatera Selatan. Dalam perjalanan masih di kecamatan Idi Rayeuk, Edi bersama Hasanuddin Salam ditangkap petugas Badan Narkotika Nasional (BNN).
Turut diamankan barang bukti berupa satu tas jinjing warna hitam dan satu tas ransel warna hitam yang di dalamnya berisi narkotika jenis sabu yang dibungkus mengggunakan kemasan teh cina warna hijau sebanyak 16 bungkus dengan berat total sekitar 16 kg.
Sementara Murziyanti dan Fitriani ditangkap petugas BNN pada 25 Agustus 2019 di Dusun Sidomulyo Kecamatan Biru Biru, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.
Petugas BNN kemudian menjemput Faisal di Lapas Pekan Baru.
Masing-masing anggota sindikat mafia sabu ini diadili secara terpisah, termasuk istri Faisal, Murziyanti.
''Menyatakan terdakwa Murziyanti Binti Zainal Abidin Alm. als Mak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan atau menerima Narkotika Golongan I (satu) bukan tanaman yang beratnya melebihi 5 (lima) gram,” ujar Ketua Majelis Hakim, Apri Yanti.
“Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Murziyanti Binti Zainal Abidin Alm.als Mak dengan Pidana Mati,'' tambah Apri Yanti.
Murziyanti meski di kartu identitas tertulis beralamat di Dusun Sidomulyo Kecamatan Biru Biru, Kabupaten Deli Serdang, namun dalam berkas putusan disebutkan juga bersuku Aceh, sama seperti Faisal suaminya.
Demikian juga dengan Fitriani.
Dengan demikian, Murziyanti dipastikan merupakan perempuan Aceh pertama yang divonis mati dalam kasus narkotika.
Namun keputusan itu belum incrah.
Karena seperti disampaikan Hakim Juru Bicara Pengadilan Negeri Idi, Tri Purnama SH, Faisal Nur dan istrinya Muziyanti sedang melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Banda Aceh.
Baru-baru ini vonis mati juga dialami perempuan Aceh lainnya, yakni Zuraida Hanum, namun atas kasus pembunuhan terhadap suaminya sendiri, yakni Hakim Jamaluddin.
Vonis 6 Orang
Selain Murziyanti, Hakim PN Idi juga menjatuhkan vonis hukuman mati kepada suaminya, Faisal Nur. Faisal mengendalikan dan menjadi otak penyelundupan tersebut.
Selanjutnya Edi Saputra dihukum penjara seumur hidup. Edi diberi kepercayaan oleh Faisal untuk merekrut tim dan menyiapkan dana Rp 53 juta/kg sabu untuk penyewaan kapal.
Ridwan dihukum penjara seumur hidup. Ridwan berperan mencari kapal untuk mengambil sabu. Pengambilan sabu dilakukan di tengah laut yang dibawa dengan kapal dari Malaysia.
Berikutnya Marzuki juga dihukum penjara seumur hidup. Peran Marzuki juga tidak bisa diabaikan, karena dia yang menjemput sabu pelabuhan tikus di jalur sungai Simpang Ulim, Aceh Timur, dan menyembunyikan di rumahnya.
Terakhir Fitriani, dihukum penjara selama 20 tahun. Ia menemani Muzriyanti di Malaysia terkait penyelundupan sabu tersebut.
Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul "Mengintip Peran Murziyanti, Perempuan Aceh Pertama yang Divonis Mati dalam Kasus Narkotika"