TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepedulian Calon Wali Kota Surabaya nomor urut 2 Machfud Arifin membuat masyarakat korban konservasi Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya) tersentuh.
Pasalnya, baru Cak Machfud yang menyambangi tempat berkumpulnya para korban konservasi Pamurbaya.
"Dari istana pusat dan pemerintah daerah tidak pernah ada yang datang langsung ke tempat kami ini, baru Pak Machfud Arifin lah yang datang kesini, ini sebuah kehormatan bagi kami," ungkap Ketua Kelompok Petani Tambak Truno Djoyo, Suratno di Rumah Mangrove Petani Tambak Truno Djoyo, Wonorejo, Sabtu (03/10/2020).
Lebih lanjut, pria yang karib disapa Cak Ratno ini mengatakan banyak aspirasi dari para korban konservasi yang membutuhkan perhatian dari Cak Machfud bila nanti diamanahkan menjadi Wali kota Surabaya.
Hal ini lantaran para korban konservasi belum mendapatkan kejelasan dan solusi terkait wilayah konservasi Wonorejo yang dinilai tidak berpihak kepada masyarakat.
Contohnya, para kelompok tani Truno Djoyo selama dua tahun terakhir terus mengalami kerugian.
Penyebabnya, air di dalam tambak dan aliran sungai dalam kondisi memperihatinkan.
Air tersebut telah terkontaminasi berbagai limbah rumah tangga sehingga berwarna hitam dan menimbulkan aroma yang tidak sedap.
Kondisi ini juga disaksikan langsung oleh Cak Machfud ketika mengecek dengan menaiki perahun nelayan salah satu warga Wonorejo.
"Kondisi sungainya memang seperti ini, sudah berwarna hitam dan aroma juga tidak sedap, terdapat banyak bakter e-coli serta tercemar merkuri. Jika seperti ini terus ikan tidak akan mau datang ke sungai ini dan para nelayan terpaksa mencari ikan di tempat yang lebih jauh otomatis pengeluaran bbm juga lebih tinggi," tuturnya.
Baca: Emil Dardak : Kota Surabaya Bisa Jadi Contoh Ekonomi Melingkar Sampah Plastik
Baca: Jemput Pasien Covid-19, Nakes di Surabaya Dilumuri Kotoran, Pemkot Buka Suara
Baca: Dinilai Religius, Tokoh Agama Puji Kepemimpinan Machfud Arifin
Di samping itu, warga yang berupaya melakukan pembibitan di tambaknya masing-masing juga menemukan permasalahan yang sama.
Karena kualitas air yang tidak baik, pembibitan pun gagal dilakukan.
"Bibit ikan dan apapun itu di tambak-tambak menjadi mati dan walaupun ada yang hidup ketika dijual harganya jauh dari pasaran. Padahal dalam situasi saat ini kami para petani tambak sangat membutuhkan pemasukan ekonomi untuk menghidupi keluarga," kata Cak Ratno.
Selain itu, warga setempat juga tidak diperbolehkan mengambil kayu tambak untuk dijual.