"Di sini kalau ramainya saat Lebaran, perantauan pada pulang. Kalau tidak, saat ada tetangga ada saudara yang melaksanakan hajatan," ujarnya.
Namun selama dua tahun ini, jumlah kaum boro yang mudik semakin sedikit karena virus corona.
Baca juga: Videonya Viral, Pelaku Kasus Penganiayaan Anak Kandung di Tangsel Terancam hukuman 5 Tahun Penjara
Sejarah Perantauan
Sebelum menjadi desa elit, Desa Bubakan dulunya ada Desa yang tertinggal.
Mayoritas mata pencaharian masyarakatnya merupakan petani di desa.
Namun pada tahun 1980-an, beberapa warga Desa diajak merantau oleh pengusaha asal Sukoharjo, Mbah Joyo.
"Mereka ikut Mbah Joyo, jualan jamu dan bakso. Mereka diminta menunggu cabang milik Mbah Joyo itu," ujarnya.
Setelah belajar cara membuat dan berjualan jamu saat bekerja dengan mbah Joyo, mereka kemudian membuka usaha mereka sendiri.
Saat berwirausaha tersebut, mereka mengajak warga desa yang lain sebagai pekerjanya.
"Dari situ, banyak warga yang mulai merantau ke berbagai kota di Indonesia. Mereka jualan jamu dan bakso, dan sukses," ujarnya.
Kesuksesan itu pun terus diwariskan ke genarasi berikutnya hingga sekarang.
"Saat ini yang merantau atau meneruskan usaha keluarganya sudah generasi ketiga," katanya.
Sulit Mencari Pekerja
Banyaknya orang yang sukses di Desa Bubakan, membuat para pengusaha di perantauan kesulitan mencari tenaga kerja dari desanya.