Bagi sebagian petani, menanam kedelai juga tidak terlalu menggiurkan dibanding menanam jagung atau padi. Kedelai hanya bisa menghasilkan 1,5-2 ton per hektare. Bandingkan dengan jagung, yang mampu menghasilkan sekitar empat ton per hektarenya.
Bagaimana kondisi tata niaga atau rantai pasok kedelai yang ada di dalam negeri?
Tata niaga kedelai lokal itu tahapannya cukup panjang. Hasil panen dari tangan petani disalurkan kepada pengepul tingkat desa atau biasa disebut kelompok tani, dari sana disalurkan ke pengepul di tingkat kecamatan, selanjutnya dihimpun oleh pedagang besar untuk didistribusikan ke pengecer dan perajin.
Rantai distribusi inilah yang membuat harga kedelai lokal mahal. Pernah kami mencoba untuk memotong alur distribusi dari petani langsung ke para perajin tahu dan tempe. Tapi apa yang terjadi? Niat baik kami ini memunculkan gejolak dari para pengumpul di daerah. Sehingga terpaksa kami harus mengembalikan alur tata niaga seperti sebelumnya.
Inilah yang menyebabkan mengapa harga kedelai lokal kita tinggi, tapi para petani tidak pernah sejahtera.
Terkait impor kedelai, apa sebenarnya masalahnya?
Hal yang ingin saya soroti soal impor kedelai ini adalah bagaimana pemerintah seolah memberikan kebebasan kepada siapa saja importir untuk bisa mendatangkan kedelai ke Indonesia.
Seharusnya pemerintah itu hanya mengeluarkan izin importir produsen, bukan izin importir umum seperti yang terjadi selama ini.
Bila ini dibiarkan terus, bukan tidak mungkin akan terjadi banjir barang di Indonesia secara tidak terkendali. Pemerintah juga harus menetapkan satu jalur distribusi. Dulu ada Bulog sebagai satu-satunya pendistribusi atau distributor yang menyalurkan barang-barang yang diimpor sebelum ke tangan pedagang dan perajin.
Melihat situasi saat ini, mungkinkah Indonesia dapat terlepas dari jerat importir kedelai?
Asal ada kemauan itu mungkin. Akan tetapi persiapannya harus sangat matang. Paling tidak kita harus punya kesiapan lahan untuk perkebunan kedelai seperti di Amerika, yang tidak tumpang sari dengan tanaman lainnya agar produktivitasnya maksimal. Tapi kalau tidak, maka jangan pernah berharap itu terwujud.
Mungkinkah pada akhirnya, para perajin tahu tempe di Jabar berhenti karena tidak mampu lagi untuk membeli bahan baku yang harganya terus naik?
Saat ini sudah mulai ada kecenderungan para produsen besar mulai menguasai, bahkan memonopoli kondisi pasar.
Kelak, akan tiba masanya tidak ada lagi perajin tahu atau tempe skala rumahan di Jabar. Mereka mungkin akan menjadi pedagang tahu tempe atau istilahnya ngeber dari para pengusaha yang memiliki pabrik pengolahan tahu dan tempe berskala besar.