Laporan Wartawan Tribun Timur Muslimin Emba
TRIBUNNEWS.COM, MAKASSAR - Penerbitan Surat Penetapan Penghentian Penyelidikan (SP3) kasus rudapaksa tiga anak di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan dinilai janggal oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar.
Lembaga pendamping hukum kasus dugaan tindak asusila seorang ayah terhadap anaknya menilai perjalanan kasusnya sangat singkat.
"Sangat prematur, dua bulan setelah dilaporkan langsung dibuatkan adminstrasi penghentian penyelidikan.
Kasus ini harus dilanjutkan," kata Pendamping Hukum LBH Makassar, Rizky Pratiwi ditemui di kantornya, Kamis (7/10/2021) malam.
Berikut temuan kejanggalan LBH Makassar:
1. Mulai dari rekomendasi P2TP2A
Di pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Luwu Timur tempat LI, ibu dari ketiga anak yang menjadi korban dugaan tindak asusila mengadu dinilai tak memberikan layanan yang semestinya.
"Bahkan, kami menduga ada maladministrasi," kata Rezky Pratiwi.
Dugaan itu bukan tanpa sebab.
Baca juga: Pria Berusia 66 Tahun di Banyuasin Rudapaksa Anak dan Cucu hingga Keduanya Hamil
Pasalnya, ketiga korban anak dipertemukan langsung dengan terlapor, sang ayah.
"Pendampingan dari P2TP2A Lutim kami anggap berpihak (kepada terlapor) sehingga hasil assessmennya pun tidak objektif," ujarnya.
Hasil assessment itu, pun digunakan polisi untuk menghentikan penyelidikan kasus.
"Sayangnya asesmen P2TP2A Luwu Timur dipakai oleh penyidik sebagai bahan juga untuk menghentikan penyelidikan," beber Tiwi sapaan Rizky Pratiwi.
2. Berbanding Terbalik Pemeriksaan Psikolog Makassar
Dugaan hasil assessmen kurang objektif P2TP2A Luwu Timur dikuatkan oleh hasil pemeriksaan Psikolog di Kota Makassar.
"Hasil assessmen justru mengatakan sebaliknya," kata Tiwi sapaan Rizky Pratiwi.
Para anak lanjut Tiwi, menjelaskan secara gamblang ke psikolog kasus rudapaksa yang dialaminya.
"Bahwa terjadi kekerasan seksual yang dilakukan bapaknya.
Bahkan ada pelaku lain yang melakukan kekerasa seksual kepada tiga anak," ungkap Tiwi.
Ketiga korban anak itu, kata Tiwi seragam saat menceritakan perlakuan ayah ke psikolog.
"Bahkan, yang paling kecil bisa memperagakan juga bagaimana itu bisa dilakukan," ucapnya.
3. Delegitimasi Penyidik
Tiwi yang konsen mendampingi kasus itu, mengendus dugaan adanya upaya delegitimasi penyidik.
Dugaan itu bukan tanpa sebab, pasalnya, sang ibu selaku pelapor diperiksakan kejiwaan ke psikiater dalam waktu yang singkat.
"Pemeriksaan itu sangat singkat, cuman 15 menit, tau-tau dinyatakan punya wahab (gangguan)," terang Tiwi.
Sementara kata dia, acuan pemeriksaan kejiwaan dalam proses hukum terdapat beberapa tahapan.
Baca juga: Komplotan Begal di Jakarta Timur Sandera hingga Setrum Korbannya
Salah satunya, harus ada tim yang terlibat.
Tidak hanya dua dokter psikiater.
"Kami menduga ada upaya deligitimasi pelapor dengan memeriksakannya ke sikiater," terangnya.
4. Proses Penyelidikan Terburu-buru
"Kalau penyidik mengatakan tidak cukup alat bukti, ya, karena memang prosesnya sangat cepat, tidak digali baik-baik," kata Tiwi.
Semestinya, lanjut Tiwi, penyidik harus membuka perkara itu secara terang benderang yaitu dengan mengali bukti sedalam mungkin, dan juga memeriksa saksi lain.
"Kami juga sudah memasukkan dokumen-dokumen argumentasi kami di Polda Sulsel pada bulan Maret 2020," tegas Tiwi.
Ia pun menganggap kasus itu sudah layak dibuka kembali untuk dilanjutkan ke tahap berikutnya.
5. Sikap Polda Sulsel dan Polri
Tiwi menyayangkan sikap Polda Sulsel yang turut mengaminkan SP3 yang berdasar pada hasil assesmen P2TP2A Luwu Timur yang dinilai kurang objektif.
Pihaknya, pun melanjutkan kasus itu ke Mabes Polri namun respon yang sama ditemui.
"Setelah penghentian penyelidikan diaminkan oleh Polda Sulsel, kami minta Polri melanjutkan proses penyelidikan tapi tidak merespon sama sekali," beber Tiwi.
Laporkan ke Komnas Perempuan, Komnas HAM hingga Kemen PPA.
Melihat respon Polri yang tidak kunjung membuka kasus itu kembali, LBH Makassar pun melaporkan ke beberapa lembaga terkait, seperti, Komnas Perempuan, Komnas HAM dan Kemen PPA.
"Nah, kemarin ada rekomendasi dari Komnas Perempuan untuk melanjutkan kasus ini tapi tidak juga ditindaklanjuti oleh Polri," tuturnya.
Hingga saat ini, pihaknya mengaku belum mendapat keterangan resmi dalam bentuk surat oleh Mabes Polri setelah kasus itu viral di media sosial.
Jurnalis Tribun-Timur.com telah mengonfirmasi langsung ke Kabid Humas Polda Sulsel Kombes Pol E Zulpan.
Ia membenarkan munculnya SP3 atas penanganan kasus dugaan rudapaksa itu.
"Itukan kasus lama 2019, kok diungkit sekarang.
SP3 kan tentunya ada pertimbangan hukum," kata Zulpan.
Pihaknya mengklaim, tidak menemukan adanya unsur pidana seperti yang dilaporkan sang ibu ke Polres Luwu Timur.
"Sudah digelar perkara, memang tidak ditemukan (tindak pidana)," ujar perwira tiga bunga melati itu.
Keabsahan SP3 yang dimunculkan Polres Luwu Timur, lanjut Zulpan sudah terkonfirmasi ke Polda Sulsel.
"Kalau yang namanya SP3 itu, sudah sampai Polda, kan direktur Polda yang tandatangan. Tidak sembarang SP2 itu, udah digelar (perkara)," ujarnya.
"Jadi sudah ada kekuatan hukum tetap, tidak bisa. Intinya kalau mau gugat, mestinya di tahun 2019," sambungnya.
Pihaknya juga mengklaim, tudingan polisi tidak berpihak pada keadilan, tidaklah benar.
"Dia main medsos, terus viralkan seolah-olah polisi tidak berpihak pada keadilan, padahal salah, tidak seperti itu," ungkap Zulpan.
"Bukan karena bapaknya (terduga pelaku) pejabat di Pemda atau bukan, memang tidak ada (unsur pidana)," tuturnya.
Mabes Polri Siap Buka Kembali Kasusnya
Sementara itu, Mabes Polri mengaku siap untuk membuka penyelidikan kembali kasus tiga anak di bawah umur yang dinodai ayah kandung sendiri di Luwu Timur yang dihentikan penyidikannya pada Desember 2019 lalu.
Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono menyampaikan kasus tersebut masih belum final meski dihentikan penyidikannya oleh Polres Luwu Timur.
Rusdi menuturkan penyidik Polri masih bisa membuka penyelidikan kasus tersebut jika menemukan bukti baru adanya dugaan tindak pidana pencabulan.
"Apabila kita bicara tentang penghentian penyidikan, itu bukan berarti semua sudah final.
Apabila memang dalam proses berjalannya ada ditemukan bukti yang baru, maka tidak menutup kemungkinan penyidikannya akan dibuka kembali," kata Rusdi di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (7/10/2021).
Rusdi menjelaskan dugaan kasus pencabulan tersebut sudah dihentikan penyidikannya oleh penyidik Polres Luwu Timur pada 2019 lalu. Hal itu setelah dilakukan gelar perkara.
"Kesimpulan dari gelar perkara Itu adalah tidak cukup bukti.
Sekali lagi, tidak cukup bukti yang terkait dengan tindak pidana pencabulan tersebut. Oleh karena tidak cukup bukti, maka dikeluarkanlah surat penghentian penyidikan daripada kasus tersebut," jelasnya.
Polri, kata dia, mengaku bersedia jika nantinya ada bukti baru yang bisa membuat penyidikan kasus tersebut dapat diungkap lagi oleh pihak kepolisian.
"Apabila ditemukan bukti-bukti baru. Apabila ditemukan bukti-bukti baru bisa dilakukan penyidikan kembali. Tapi sampai saat ini memang telah dikeluarkan surat perintah untuk penghentian penyidikan kasus tersebut. Karena apa? karena penyidik gak temukan cukup bukti bahwa terjadi tipid pencabulan," tukasnya.
Asal Muasal Kasus
Kasus ini pertama kali dilaporkan oleh mantan istri SA berinisial RS ke Polres Luwu Timur pada Rabu (9/10/2019).
SA berstatus ASN ini dilaporkan RS sudah memperkosa anak kandungnya masing-masing berinisial AL (8), MR (6) dan AS (4).
Berdasarkan laporan tersebut, Kapolres Luwu Timur, AKBP Leonardo Panji Wahyudi memerintahkan Kasat Reskrim Iptu Eli Kendek menyelidiki kasus tersebut.
Pemeriksaan dilakukan penyidik dalam bentuk intoragasi terhadap saksi (korban) dan terduga pelaku SA.
Dalam pemeriksaan itu, polisi tidak menemukan adanya tindak pidana cabul atau sodomi terhadap korban. Ditambah pada keterangan korban pun tidak ada hal yang mengarah pada perbuatan pencabulan.
Baca juga: Pelaku Pencurian dan Percobaan Rudapaksa di Kota Bontang Ditangkap, Ternyata Seorang Residivis
Tidak sampai disitu, polisi juga melakukan visum et repertum kepada anak kandung SA yang diduga menjadi korban di Puskesmas Malili.
Selain di Puskesmas Malili, polisi juga melakukan visum et repertum di Rumah Sakit Bhayangkara Polda Sulsel.
"Tidak ditemukan adanya tanda kekerasan, otot sphing menjepit dan bibir kemaluan.
Tidak ada kelainan terhadap ketiga anak korban seperti yang dilaporkan pelapor," kata Kapolres dalam keterangannya diterima TribunLutim.com, Sabtu (21/12/2019).
Hasil pemeriksaan dokter forensik Rumah Sakit Bhayangkara Polda Sulsel juga memperkuat bahwa ketiga anak yang dinyatakan korban itu, tidak diketemukan adanya tanda kelainan pada korban.
Selain itu, hasil pemeriksaan psikiater kepada diduga pelaku SA, terduga korban, tidak ditemukan gangguan jiwa atau dalam kondisi normal. Termasuk tidak ditemukan trauma. Ditambah kondisi hubungan ayah dengan anak baik.
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang ada, polisi menyimpulkan, laporan RS kepada SA tidak diketemukan adanya bukti yang cukup.
"Sehingga direkomedasikan kepada penyidik untuk menghentikan proses penyelidikan terhadap perkara tersebut, serta mengirim SP2HP A2 kepada pelapor," imbuhnya.
Namun, apabila polisi menemukan bukti baru atau novum, proses penyelidikan akan di lanjutkan kembali.
Sementara laporan hasil assesment Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Dinas Sosial Luwu Timur tidak pernah ada tanda trauma ketiga anak tersebut terhadap ayahnya.
Ancam Balik Mantan Istri
Merasa namanya dicemarkan karena laporan itu, auditor Inspektorat Luwu Timur berinisial SA (43) melaporkan balik mantan istrinya berinisial RS ke Polres Luwu Timur.
SA tidak terima nama baiknya dicemarkan RS dengan tuduhan dan dilaporkan ke polisi sudah memperkosa anak kandungya sendiri AL (8), MR (6) dan AS (4).
SA melaporkan RS atas tindakan penghinaan.
Laporan SA masuk ke Polres Luwu Timur pada 9 Oktober 2019.
RS berstatus ASN di salah satu Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di Pemkab Luwu Timur.
Laporan SA sudah dalam penyelidikan polisi sesuai surat nomor B/292/X/RES/.1.14/2019 tertanggal 15 Oktober 2019.
"Saya menuntut laporan balik ku tetap jalan," kata SA kepada TribunLutim.com, di ruang kerjanya, Senin (23/12/2019).
Terkait ia dilaporkan memperkosa anak kandung sendiri. Laporan itu ia anggap perbuatan yang keji kepada dirinya.
"Ini fitnah keji," imbuhnya
SA mengatakan untuk membuat diri dan fikirannya tenang ia membaca al quran.
"Kalau saya di rumah mengaji ji pak," imbuhnya.
Seperti diketahui, SA dilaporkan RS sudah memperkosa anak kandungnya masing-masing berinisial AL (8), MR (6) dan AS (4).
SA pertama kali dilaporkan RS ke Polres Luwu Timur pada Rabu (9/10/2019).
RS juga melapor di posko Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Makassar, Sabtu (21/12/2019) siang
Sempat Trending
Sebelumnya diberitakan, Trending di Twitter, hastag atau tagar (#) Tiga Anak Saya Diperkosa.
Postingan itu menjadi trending teratas populer di Indonesia, Kamis (7/10/2021), pukul 14.57 Wita.
Tercatat ada 6.004 Tweet yang menongkrongi unggahan itu.
Bahkan beberapa pengguna, Twitter menandai akun @DivHumas_Polri dan @KomnasPerempuan.
Postingan itu mengunggah curhatan seorang ibu di Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Ia menceritakan terkait perjalanan kasus dugaan rudapaksa yang dialami tiga anaknya.
Pelakunya disebutkan adalah mantan suami sendiri.
Namun, seiring perjalanan kasus yang mulai bergulir sejak 2019, polisi rupanya menerbitkan Surat Penetapan Penghentian Penyidikan (SP3). (Tribun Timur/Muslimin Emba/Tribunnews.com/Igman Ibrahim)
Artikel ini telah tayang di Tribun-Timur.com dengan judul Berikut Kejanggalan Penghentian Kasus Ayah Rudapaksa 3 Anaknya di Luwu Timur