TRIBUNNNEWS.COM - Herry Wirawan jadi sorotan publik. Sebab, ia diberitakan sebagai guru sekaligus pemilik pesantren di Bandung, yang melakukan rudapaksa terhadap santriwatinya.
Korbannya diketahui berjumlah 13 orang. Delapan di antaranya hamil dan melahirkan sembilan anak.
Artinya ada satu orang yang hamil sampai dua kali.
Pakar Hukum dari Universitas Katolik Parahyangan, Asep Warlan Yusuf, membuka kedok Herry Wirawan.
Menurut Asep, yang dikelola Herry Wirawan bukan pondok pesantren.
Baca juga: Jokowi Sorot Kasus Guru Pesantren Rudapaksa Santri, Minta Pelaku Ditindak Tegas
Sebab, ia tidak ditemukan kegiatan pendidikan atau keagamaan di tempat-tempat milik Herry Wirawan. Ia juga menyebut korban bukan santriwati.
"Ini bukan pesantren, mereka bukan santriwati. Mereka anak-anak dijemput, diiming-imingi, dan tidak ada pengajian atau pendidikan di situ. Salat saja tidak diajarkan. Ini memang penculikan saja dari keluarganya untuk dieksploitasi sama dia," kata Asep melalui sambungan telepon, seperti diberitakan TribunJabar.id, Selasa (14/12/2021).
Ia meminta semua pihak untuk betul-betul menjaga para korban, bukan malah mengeksploitasi para korban untuk berbagai kepentingan.
Baca juga: Korban Rudapaksa Herry Wirawan di Tasikmalaya Trauma Hebat, Orangtuanya Sulit Terima Kenyataan
Baca juga: Total Korban Rudapaksa Herry Wirawan Adalah 13 Orang
Hal ini, katanya, malah akan merugikan para korban yang sudah cukup menderita akibat Herry Wirawan.
Dia pun menganggap langkah tidak mengekspos kasus guru agama merudapaksa para korban merupakan langkah yang tepat.
Hal itu untuk melindungi korban.
Ia mengatakan masyarakat jangan sampai salah mengerti saat kasus ini baru dipublikasikan Desember, padahal sudah diketahui sejak Mei.
Sebab, katanya, tidak dipublikasikan bukan berarti tidak diproses hukum.
Hal ini pun bertujuan melindungi para korban, terutama psikologisnya.
Baca juga: Foto Mirip Pelaku Rudapaksa Santriwati Babak Belur Viral, Kalapas Ungkap Kondisi Herry Wirawan
Tidak sekadar melindungi korban, keputusan untuk memproses kasus tanpa publikasi terlebih dulu ini, menurut Asep, dilakukan untuk menjaga keberlangsungan persidangan.
Sebab, dalam kasus asusila, para korban harus menjadi saksi dalam persidangan.
"Ada etika dalam hukum acara kejahatan kesusilaan. Satu di antaranya memang tidak diekspos. Bahkan untuk beberapa kasus, pelakunya pun tidak diekspos. Karena pada saat ia dihadapkan di pengadilan, saksi itu juga kan harus datang. Untuk menjadi saksi dalam kasus ini kan tidak mudah karena harus melihat pelakunya," kata Asep saat dihubungi, Selasa (14/12/2021).
Kelancaran persidangan, katanya, ditentukan oleh saksi yang mau menyatakan kejadian yang sebenarnya dengan jelas.
Maka saat bersaksi pun, jangan sampai kondisi psikologis korban terganggu.
Bahkan korban harus didampingi psikolog, didampingi ahli kesehatan, dan didampingi orang terdekat korban.
Apalagi, menurut Asep, dalam kasus ini para korbannya adalah anak-anak.
Semua pihak harus memulihkan psikologis para korban supaya siap menjadi saksi di pengadilan.
Baca juga: Dua Oknum Polisi yang Memarahi Ibu Muda Korban Rudapaksa di Riau Dimutasi
Dengan adanya kasus ini terekspos kepada publik, bahkan dicongkel berbagai informasinya mengenai korban, katanya, akan memengaruhi kondisi para korban yang akan menjadi saksi tersebut.
"Makanya kami mengerti kalau diam-diam dulu, supaya proses-proses yang dijalankan oleh hakim dan pengadilan berjalan lancar dan saksinya mau bicara tanpa gangguan. Kalau sudah diputus, silakan," katanya.
Ia mengatakan, berdasarkan, penelusurannya, para korban Herry Wirawan kembali mengalami trauma setelah kasus ini terekspos ke publik.
Mereka, katanya, membaca berbagai berita di media, termasuk pembicaraan di media sosial.
"Kalau prespektif kesusilaan, melihat korban, maka kewajiban negara, kewajiban pemerintah, kewajiban penegak hukum, adalah melindungi korban. Itu harus dijalankan. Makanya pihak pemerintah dan penegak hukum itu memastikan bahwa korban mendapat perlindungan dan hak-haknya," ujar Asep.
Ia mengatakan korban harus merasa aman dan nyaman.
Oleh karena itu, harus dipastikan korban dilindungi dari publisitas, dari pengungkapan ke publik, dan wajib dilindungi.
Hal ini dilakukan sambil para korban dilindungi dan dipulihkan mental psikologis serta traumanya.
"Jadi bukan tidak mau diekspos, tapi problemanya adalah ketika ini terekspos keluar bahkan disebutkan siapa korbannya, itu akan menjadi pelanggaran terhadap hak-hak korban," katanya.
Adapun jika publik itu menyoroti pelakunya, hal ini diperbolehkan. Asalkan, katanya, jangan sampai mengorek informasi mengenai korban.
Baca juga: Upaya Herry Wirawan Tutupi Aksi Bejatnya, Larang Santri Keluar Rumah, Bahkan Belanja Diantar
Karena hal ini tertera dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Anak.
"Saya mengobrol dengan teman-teman di Garut dengan dinas-dinas yang menangani perlindungan anak. Mereka sebetulnya bukan menutupi perbuatan jahat, tapi ini hanya untuk sebatas melindungi korbannya. Yang sudah ada trauma healing berkali-kali dengan anaknya keluarganya, ketika ini terekspos lagi, jadi lagi traumanya," katanya.
Ia pun mencermati hal-hal janggal dalam berbagai informasi kasus tersebut.
Yang selama ini dikabarkan adalah pencabulan yang dilakukan oleh guru agama kepada santriwatinya.(syarif abdussalam)
Artikel ini telah tayang di TribunJabar.id dengan judul Fakta Baru Herry Wirawan Rudapaksa Santri, Sosok Ini Ungkap Hanya Penculikan dan Eksploitasi