Kala itu tidak ada kesepakatan di antara kedua belah pihak.
Menurutnya, penggarap mulai anarkis dengan melempari personil dengan lumpur.
Pihaknya pun mengejar para penggarap yang dianggap menjadi provokator massa.
Massa pun berhamburan dan personelnya meninggalkan lokasi.
"Tidak ada korban baik dari pihak masyarakat penggarap maupun personel dan pasukan yang bertugas," ujarnya.
Penjelasan Kepala Desa
Konflik yang terjadi ini ternyata sudah lama terjadi dan sampai saat ini kedua belah pihak masih mengklaim masing-masing kepemilikan.
Kepala Desa Seituan, Parningotan Marbun menyebut pihak Puskopad sudah lama meminta agar warga mengosongkan lahan pertanian seluas 65 hektare.
Disebut masyarakat tidak mau bergeser lantaran lahan sudah dikuasai dari zaman kakek neneknya.
"Sesudah jadi bandara ini mereka ngaku-ngaku HGU nya ini. Dulu-dulu nggak pernah diperdebatkan di zaman kakek saya. Semenjak ada bandara ininya seperti ini," ucap Parningotan Marbun.
Ia mengaku sangat menyayangkan kericuhan yang terjadi pada Selasa pagi.
Menurut Parningotan, dalam bentrok tersebut tiga anak-anak juga menjadi korban.
Ia menyebut karena dipijak oknum TNI, korban pun harus dibawa berobat.
"Anak-anak masih SMP dan 13 tahun jadi korban. Karena masyarakat saya dipijak ya saya juga nggak terima. Ini kita mau ngadu ke Komnas Perlindungan Anak juga ini supaya tahu Bapak Aris Merdeka Sirait. Ya saya nggak tahu kenapa bisa sampai gitunya kali, ya mungkin emosi TNI nya," kata Parningotan.