Pada Januari 2020, Polda Jatim mengambil alih kasus tersebut. Namun MSA beberapa kali mangkir saat diminta datang untuk diperiksa.
Polisi bahkan gagal menemui MSA saat akan diperiksa di lingkungan pesantren tempat tinggalnya.
MSA sempat mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Surabaya untuk meminta kepastian hukum atas status hukumnya yang sudah dua tahun tanpa kejelasan.
Dalam permohonan praperadilan itu, termohon adalah Polda Jatim dan turut termohon adalah Kejaksaan Tinggi Jatim.
Saat itu, kuasa hukum MSA, Setijo Boesono mengatakan, berkas kasus kliennya sudah beberapa kali ditolak oleh pihak kejaksaan, namun sampai saat ini belum jelas kepastian proses hukum berlanjut.
Namun pada 16 Desember 2022, hakim Pengadilan Negeri Surabaya menolak permohonan praperadilan MSA.
Alasan majelis hakim menolak permohonan praperadilan tersebut karena kurangnya pihak termohon, dalam hal ini Polres Jombang.
Sebab, proses penyelidikan dan penyidikan kasus ini hingga penetapan tersangka dilakukan oleh Polres Jombang. Polda Jatim dalam kasus ini hanya meneruskan proses hukum saja.
Pihak MSA masih mengajukan upaya hukum mengajukan gugatan praperadilan atas status tersangkanya ke Pengadilan Negeri Jombang pada 6 Januari 2022 lalu.
Perlindungan Bagi Korban diperpanjang karena Kasus Berlarut
Penderitaan panjang dialami U (inisial), santriwati Pondok Pesantren Majmaal Bahrain Shiddiqiyyah yang menjadi korban pelecehan seksual diduga dilakukan anak kiai di Jombang, Jawa Timur.
Selama menuntut keadilan, santriwati berusia 24 tahun ini kerap mendapatkan ancaman hingga meminta perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Bahkan karena berlarutnya kasus ini, LPSK harus memperpanjang masa perlindungannya hingga lima kali.
Hal ini terungkap setelah Wakil Ketua LPSK Livia Istania DF Iskandar mengungkapkannya dalam konferensi pers Kamis (6/1/2022).
Dalam perkara ini, LPSK sudah dilibatkan sejak Oktober tahun 2019 usai U memutuskan membawa kasus kekerasan seksual ini ke Polres Jombang.
"Setiap kali program perlindungan diberikan selama enam bulan, jadi perlindungan terhadap korban ini memasuki perpanjangan kelima di bulan Februari 2022," ujar Livia dalam konferensi pers Kamis (6/1/2022).
Selama dua tahun kasus mandek di kepolisian, LPSK harus berhadapan langsung dengan berbagai ancaman terhadap korban.
Bahkan, bukan hanya korban yang menerima ancaman, pendamping korban dari Komnas Perempuan juga mendapatkan ancaman dan tindak penganiayaan.
Penganiayaan terhadap pendamping korban terjadi pada Mei 2021 lalu.
"Sejak Januari 2020 LPSK sudah beri perlindungan kepada tujuh saksi atau korban untuk kasus kekerasan seksual ini. Dimana 4 saksi dan korban untuk kasus penganiayaan pada saksi yang terjadi Mei 2021 lalu," jelasnya.
Saat ini kata Livi, baru satu korban yang berada dalam naungan perlindungan LPSK.
Mengingat kasus itu menimpa korban lain, Livi mempersilakan korban lain agar melapor ke LPSK apabila mendapatkan ancaman, tekanan, atau penganiayaan dari pihak pelaku.
Sementara itu Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan hambatan terbesar dalam kasus itu dua tahun terakhir ialah tekanan massa dan relasi kuat keluarga tersangka di Jombang.
Bahkan di satu waktu, kepolisian dari Polres Jombang tak bisa menjemput tersangka MSAT usai mangkir dua kali dalam pemanggilan pemeriksaan.
"Misal pernah ada upaya paksa dari kepolisian tak bisa masuk ke area komplek pesantren karena dilakukan penjagaan," jelas Siti.
Selain itu, ada upaya memobilisasi massa yang menuding laporan korban U merupakan upaya menjelek-jelekan nama pesantren ternama tersebut.
Hal itu yang membuat kepolisian sangat hati-hati dan kerap ragu-ragu dalam mengambil setiap tindakan tegas.
"Ada mobilisasi massa sehingga kepolisian ambil langkah hati-hati dalam proses kasus ini," tuturnya.
Artikel ini telah tayang di SuryaMalang.com dengan judul Petugas Diadang Massa, Polda Jatim Siap Jemput Paksa Anak Kiai di Jombang Tersangka Kasus Pencabulan
dan di Kompas.com