TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - SEJUMLAH karya fotografi terkait kemiskinan dan ketidakadilan terpampang dalam pameran foto bertajuk 'Kisah Senyap' yang digelar di Universitas Parahyangan (Unpar) Jalan Merdeka, Kota Bandung.
Rencananya, pameran yang dimulai dimulai, Jumat (4/2) itu akan berlangsung selama dua pekan.
Salah seorang fotografer yang turut serta ialah Arif Hidayah, yang akrab disapa Danun. Dia menuturkan acara pameran ini merupakan rangkaian kegiatan dari Jakarta Internasiomal Photo Festival yang diinisiasi oleh Panna Foto Institut.
Fokusnya pada foto-foto tentang hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi.
"Ada tiga fotografer yang berpartisipasi, yakni saya, Albertus Vembrianto, dan Malahayati. Karya pameran ini menjadi kali kedua setelah di Jakarta dan akan dipamerkan lagi di Makassar dan Papua, namun belum tahu waktunya," katanya di Unpar, Minggu (6/2).
Dia juga menyebut foto-foto yang dipamerkan sifatnya lebih kepada foto story atau foto yang bertutur (bercerita). Salah satu potretan yang dipamerkan ialah potret terkait bangunan rumah deret Tamansari yang merupakan karya dari Arif Hidayah.
"Menurut saya polemik rumah deret Tamansari ini dari dahulu belum selesai dan foto ini menyuarakan dari sisi warga yang diberikan ruang besar untuk bersuara, karena warga menjadi bagian dari negara dan itu sudah menjadi hak warga untuk bersuara," katanya.
Arif mengaku foto-foto karyanya yang dipamerkan ini dimulai dari foto-foto yang dibuat pada 2018. Baginya, setiap warga mesti diperlakukan dengan sama di mata hukum secara demokrasi dan humanis. Sehingga, polemik Tamansari ini ada permasalahan yang harus diselesaikan.
"Mereka belum dapat menempati apartemen (rumah deret) dan Eva, salah satu warga terdampak masih tinggal di sana dan terus melakukan proses-proses hukum," katanya seraya menyebut isu lain selain Tamansari, ialah poligami dan kemiskinan termasuk sungai di Papua yang perlahan menghilang.
Direktur Pelaksana Panna Foto Institut, Ng Swan Ti mengatakan sering kali mendengar slogan 'dunia yang lebih baik' sering dikampanyekan. Menurutnya, memang tak salah, tetapi tak perlu juga menutup mata bahwa ada banyak kisah lara menyertai gagasan mulia tersebut.
"Ada banyak manusia yang dipaksa menanggung harga tak ternilai dalam perjalanan menuju dunia yang lebih baik itu. Peristiwa duka mereka viral dan menjadi perbincangan sesaat kemudian terlupakan," katanya.
Pameran kisah senyap ini, Swan Ti menyebut menghadirkan karya-karya fotografer terpilih dalam program Photo-Demos Challenge. Mereka, kata Swan, menuturkan kisah-kisah komunitas yang sedang memperjuangkan hak dasar mereka baik secara kolektif maupun individu.
"Misalnya, proyek foto Albertus, tentang sungai yang hilang, menceritakan tentang dampak pembuangan tailing perusahaan tambang di Kabupaten Mimika, Papua terhadap kehidupan Suku Kamoro. Lalu, proyek foto Malahayati terkait isu poligami dari sudut pandang dan pengalaman pribadi, serta orang-orang terdekatnya yang berangkat dari kegelisahan dan sejumlah pertanyaan tentang poligami yang berkecamuk di pikirannya," ujarnya.
Pameran ini, lanjutnya mengajak masyarakat untuk menyimak kisah-kisah yang sudah sering diungkap tanpa didengar, hingga cerita-cerita yang berulang namun tak pernah dimengerti.
Selain itu, fotografer yang memamerkan terkait isu poligami, Malahayati menuturkan bahwa poligami menjadi hal yang lumrah di Indonesia sekaligus kontroversi. Lumrah lantaran banyak yang menjalaninya, tetapi kontroversi karena yang menjalaninya selalu menjadi buah bibir masyarakat.
"Orang Indonesia miliki cara pandang yang beragam tentang poligami yang tentunya dipengaruhi oleh latar belakang dan lingkungan. Foto-foto itu belum bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan saya dan mungkin juga mereka yang mengalami pengalaman seperti saya. Tapi, saya berharap orang yang melihatnya mulai merenungkan dan memikirkan lebih dalam praktik poligami," ucapnya.(nandri)
Baca juga: Presiden Kita Ini Kayak Koboy, Saya Senang dan Antusias