TRIBUNNEWS.COM, KUPANG - ANG (26), wanita asal Kampung Galimara, Desa Modu Waimaringu, Kecamatan Kota Waikabubak menjadi korban kawin tangkap.
ANG diculik oleh LB (29), warga Desa Modu Waimaringu, Kecamatan Kota Waikabubak.
Kasus kawin tangkap di Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur ini sempat viral di media sosial hingga akhirnya ditangani Polres Sumba Barat.
Polisi dalam hal ini menangani kasus dugaan tindak pidana penculikan, membawa lari perempuan, dan atau perampasan kemerdekaan atau kawin tangkap.
Baca juga: FAKTA Viral Kasus Kawin Tangkap di Sumba Barat, Kronologi Kejadian hingga 5 Orang Diperiksa Polisi
Menurut keterangan Kasat Reskrim Polres Sumba Barat, Iptu Doni Sare, kasus kawin tangkap terjadi di Kampung Galimara, Desa Modu Waimaringu pada Senin 25 Juli 2022 sekitar pukul 17.00 Wita.
Korban ANG diculik oleh pria berinisial LB (29).
Saat melakukan aksinya, LB dibantu tiga orang lain yang masih diselidiki.
Iptu Doni Sare mengatakan pelaku dan korban masih memiliki hubungan kekerabatan, yakni sepupu kandung.
Menurut Iptu Doni Sare, ANG baru tiba di Kabupaten Sumba Barat pada 14 Juli 2022, setelah empat tahun bekerja di Bali.
Diketahui sejak 2021, ANG menjalin hubungan asmara dengan seorang pria berinisial WB saat sama-sama bekerja di Bali.
ANG pun pulang ke Sumba Barat mengabarkan kepada keluarga kalau segera dinikahi pacarnya, WB.
Pada Senin 25 Juli 2022, ANG dan keluarga pun mengundang kerabat dan tetangga menanti kedatangan WB dan keluarganya untuk peminangan dan lamaran sesuai adat Sumba.
Baca juga: POPULER Regional: Kata Pemilik Tanah Temukan Timbunan Beras Bansos | Viral Video Kasus Kawin Tangkap
"Korban bersama keluarga telah menunggu kedatangan WB dan keluarganya dengan berbagai persiapan termasuk acara adat," kata Iptu Doni Sare, Sabtu (30/7/2022) melansir Kompas.com.
Hingga sore hari, WB dan keluarganya tak kunjung datang. ANG dan keluarganya pun kecewa.
Karena kesal, ANG berusaha menghubungi WB melalui telepon seluler tetapi tidak ada jawaban.
ANG dan keluarganya merasa sangat malu karena telah mengundang warga sekitar.
Salah satu keluarga korban berinisial BN, lalu menawarkan kepada LB agar bersedia menggantikan posisi WB untuk melamar ANG sebagai istrinya.
Tindakan itu dilakukan untuk menutupi rasa malu dan mengangkat harga diri keluarga ANG.
LB pun akhirnya menyanggupi ide itu.
Sehingga, berdasarkan adat dan kebiasaan di Sumba, maka LB mengambil seekor kuda milik salah satu perangkat desa.
Kemudian LB mengikat kuda tersebut di depan rumah ANG sebagai tanda kalau ia hendak melamar.
Setelah itu, LB langsung masuk ke dalam kamar ANG bersama tiga orang lainnya.
Mereka langsung mengangkat tubuh ANG secara paksa dan hendak membawa ke rumah LB.
Ayah kandung ANG, NN (60) hanya bisa diam menyaksikan anak gadisnya diambil LB dan tiga pria lainnya.
Sementara ibu ANG sempat histeris dan pingsan menyaksikan anak gadisnya dibopong empat pemuda ke atas kendaraan.
LB dan tiga rekannya mengangkat dan membawa ANG ke luar rumah dengan cara dibopong.
ANG lalu dinaikkan ke atas mobil bak terbuka.
Selanjutnya ANG dibawa ke rumah LB.
Saat dibawa pelaku, ANG sempat berteriak dan menangis karena merasa malu dan sakit hati dengan WB yang tidak menepati janjinya.
ANG sempat melawan karena merasa dilema dan tidak bisa mengendalikan diri terhadap situasi yang sedang dialaminya.
Akibatnya, ANG mengalami beberapa luka lecet di pergelangan tangan kiri, punggung tangan kanan, dan memar di kaki kanan, akibat genggaman dari para pelaku saat membopongnya naik ke mobil.
Baca juga: Kronologi Penculikan Seorang Gadis di Jakarta Pusat, Pelaku Ngaku Polisi Minta Tebusan Rp 50 Juta
Ketika tiba di rumah pelaku LB, ANG dinaikkan ke atas rumah.
Sesuai budaya Sumba, saat tiba di rumah LB, ANG diberikan sebilah parang oleh LB sebagai tanda lamaran.
"Saat itu korban menerimanya dengan terpaksa," kata Iptu Doni Sare.
Pada malam hari, ANG menginap di rumah pelaku LB dan tidur bersama tante pelaku.
Selama berada di dalam rumah pelaku, ANG tetap diperlakukan secara baik.
Pelaku mengaku melakukan hal tersebut karena berniat untuk mengangkat kembali harkat dan martabat ANG, yang merupakan saudara sepupunya.
Namun, cara mengambil atau membawa korban untuk dijadikan sebagai istri, bertentangan dengan undang-undang.
"Kasus ini sedang kita tangani, dengan memeriksa sejumlah pihak terkait," ujar Iptu Doni Sare.
5 Saksi Diperiksa
Kini polisi telah memeriksa lima orang saksi, yang merupakan warga setempat.
"Saksi yang sudah diperiksa 4 orang dan 1 orang yang diduga pelaku juga sudah diperiksa sebagai saksi," ucap Doni, Sabtu (30/7/2022), dikutip dari Kompas.com.
Dikatakan Doni, dalam waktu dekat penyidik Reserse dan Kriminal Polres Sumba Barat akan meminta keterangan dari ahli sebagai saksi.
Setelah itu, akan dilakukan gelar perkara untuk penetapan tersangka.
"Hasil gelar perkara bahwa status perkaranya dinaikkan ke tahap penyidikan," terangnya.
Apa itu Kawin Tangkap?
Kawin tangkap merupakan tahap awal dari proses peminangan perempuan dalam adat masyarakat Sumba.
Dalam istilah adat, cara peminangan ini dinamakan piti rambang atau ambil paksa.
Dalam hal ini, calon mempelai laki-laki akan 'menangkap' calon mempelai perempuannya untuk kemudian dilamar dan dinikahi.
Sebenarnya istilah kawin tangkap di Sumba sudah dihentikan sejak 2020 lalu.
Empat bupati di Pulau Sumba saat itu menandatangani kesepakatan bersama stop kawin tangkap yang masih terjadi beberapa waktu lalu.
Bupati Sumba Barat, Drs Agustinus Niga Dapawole menegaskan, dari sisi budaya Sumba tidak mengenal adanya kawin tangkap. Yang benar menurutnya adalah kawin lari.
"Dan, secara tradisi budaya Sumba membolehkan hal itu terjadi," ujar Bupati Niga melalui Asisten Adminstrasi Umum Setda Sumba Barat, Yermia Ndapa Doda S.Sos, sesaat setelah menghadiri rapat tindak lanjut atas penandatanganan kesepakatan bersama empat bupati se-Sumba tentang stop kawin tangkap.
Rapat ini dipimpin Bupati Niga Dapawole di ruang rapat Bupati Sumba Barat, Senin (20/7/2020).
Yermia menjelaskan kawin lari terjadi bila anak perempuan dan laki-laki saling mencintai tetapi kedua orang tua tidak setuju.
Keduanya pun memutuskan kawin lari agar proses perkawinan cepat terlaksana.
Menurutnya, kawin lari terjadi bila kedua anak saling mencintai dan salah satu keluarga perempuan atau laki-laki tidak setuju.
Dengan demikian dua sejoli memilih jalan pintas kawin lari dan sebagainya.
Selanjutnya, perwakilan keluarga laki-laki memberitahu keluarga perempuan bahwa anaknya ada di rumah laki-laki.
Pada titik ini, diakui Yermia, akan terjadi perundingan kedua belah pihak untuk membicarakan penyelesaian secara adat.
Biasanya keluarga perempuan datang membawa kain dan babi untuk menerima belis berupa kuda dan kerbau.
"Bila kedua belah pihak sepakat, maka akan berlangsung proses adat pembelisan seperti biasa," terang Yermia.
Namun demikian, Yermia mengakui, di zaman modern sekarang, hal itu jarang terjadi bahkan tidak terjadi lagi.
Kawin lari itu terjadi sekitar 15-20 tahun lalu.
Yang terjadi sekarang, proses perkawinan terjadi karena anak laki-laki dan perempuan saling mencintai dan orang tua hanya merestu saja.
Tentu semua harus berjalan sesuai adat budaya Sumba.
Untuk itu, lanjutnya, pemerintah akan mengadakan pertemuan lagi dengan tokoh adat enam kecamatan sebelum membentuk tim melakukan sosialisasi tentang stop kawin lari dan berujung pembuatan perda nantinya.
Jangan Gunakan Istilah Kawin Tangkap
Sementara itu Kapolda NTT Irjen Pol Drs Lotharia Latif SH MHum menyarankan agar masyarakat jangan lagi menggunakan istilah kawin tangkap di Kabupaten Sumba Tengah.
Hal tersebut disampaikan Kapolda NTT saat mengikuti Rakor dengan Komnas Anti Kekerasan terhadap perempuan RI, Jumat (20/11/2020) seperti dikutip dari Pos Kupamh.
Kapolda NTT mengatakan berdasarkan hasil diskusi dan penjelasan dari budayawan asal Kabupaten Sumba Tengah Anderias P Sabaora bahwa istilah Kawin Tangkap jangan digunakan lagi.
Tradisi 'kawin tangkap' di Sumba memiliki proses adat yang jelas, bukan asal membawa perempuan secara paksa.
Istilah kawin tangkap juga tidak tepat untuk menggambarkan tradisi di NTT.
Akibatnya orang salah membandingkan tradisi setempat dengan praktik pemaksaan.
Secara garis besar, calon mempelai laki-laki akan 'menangkap' calon mempelai perempuan, dalam proses yang sebetulnya sudah direncanakan dan disetujui oleh keluarga kedua belah pihak.
Prosesnya pun melibatkan penanda informasi adat, seperti kuda yang diikat atau emas di bawah bantal, sebagai tanda bahwa prosesi tengah berlangsung.
Kapolda juga menyampaikan bahwa Polri berkomitmen untuk tidak digunakan lagi istilah kawin tangkap baik dalam proses penyelidikan atau penyidikan.
Kapolda NTT, juga mengharapkan semua elemen untuk berperan mulai dari para tokoh adat dalam merumuskan penggunaan istilah-istilah yang sesuai dengan kearifan lokal.
"Polri dalam menangani Kasus Kawin Tangkap di Kabupaten Sumba Tengah dimana penanganannya di SP3 karena kedua pihak memilih penyelesaian melalui hukum adat," tambahnya.
Sumber: Pos Kupang, Kompas.com
Sebagian artikel ini telah tayang di Pos-Kupang.com dengan judul Ance Jadi Korban Kawin Tangkap di Sumba Barat, Sang Ibu Pingsan, Polisi Turun Tangan