Negara tidak pernah memberikan ruang bagi masyarakat adat untuk bisa berunding dengan pihak pemerintah dan investor.
“Kalau kita melawan, dicap separatis dan penghambat pembangunan. Bahkan kita harus berhadapan dengan moncong senjata,” kenang Zakarias Bonyadone, Ondoafi Kampung Maribu itu.
Menurut Ondofolo Kampung Bambar, Doyo Baru, Orgenes Kaway, bahwa jeritan masyarakat adat tentang hak dan martabatnya, cenderung terabaikan. Bahkan masyarakat adat yang merupakan salah satu kelompok utama dan terbesar jumlahnya, paling banyak dirugikan dan selalu menjadi korban politik pembangunan selama tiga dasawarsa terakhir ini.
“Penindasan terhadap masyarakat adat ini terjadi, baik di bidang ekonomi, politik, hukum, maupun di bidang sosial dan budaya lainnya,” kata Orgenes Kaway kepada newguineakurir.com di Kolam Renang Alami di Kampung Bambar, Rabu (14/9/22) ketika Tim Media Centre Kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) VI melakukan liputan tentang persiapan Kampung Bambar sebagai tempat serasehan KAMAN.
Tapi ketika runtuhnya rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto, barulah masyarakat adat seluruh Nusantara berkumpul dan membuat pernyataan. “Kalau Negara tidak mengakui masyarakat adat, maka masyarakat adat di Nusantara, tidak pernah akan mengakui negara ini.” Inilah pernyataan politik masyarakat adat yang dibuat setengah abad atau 50 tahun Indonesia merdeka.
Dalam Kongres Masyarakat Adat (KMAN) I pada 17 – 22 Maret 1999 di Hotel Indonesia di Jakarta, telah menghasilkan Pandangan Dasar tentang “Posisi Masyarakat Adat terhadap Negara” yang dengan keras menegaskan bahwa Masyarakat Adat telah lebih dulu ada sebelum adanya Negara. Oleh sebab itu, “Jika Negara Tidak Mengakui Kami, maka Kamipun Tidak akan Mengakui Negara.”
Tiga bulan kemudian, setelah pernyataan politik dari masyarakat adat itu dikeluarkan, lalu Majelis Permusyarawatan Rakyat (MPR) RI bersidang dan mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pasal 18 b UUD 1954 itu dinyatakan dengan tegas, Negara mengakui masyarakat adat. Padahal,
Dalam buku yang ditulis Paskalis Keagop itu, bahwa selama ini hak-hak masyarakat adat itu dilanggar, sehingga mereka tetap lawan. Hal ini sudah terjadi cukup lama. Di Papua Pt PPMA terus berperan untuk menjembatangi masyarakat masyarakat adat dan bagaimana negara dapat mengatur dalam berbagai kebijakan supaya tidak terjadi tindakan-tindakan anarkis.
“Kalau kita lawa Negara, tidak mungkin. Jadi kami berperan untuk menjembatangi supaya negara dan pemerintah serta masyarakat dapat mengerti. Kalau di adat, kita melewati batas tanahnya saja, bisa perang. Tapi kalau tanah-tanah masyarakat adat diambil negara, masyarakat adat, tidak mungkin berperang melawan negara. Di sinilah Pt. PPMA berperan supaya tidak ada tindakan anargi,” ungkap Zadrak Wamebu.
Tahun 1999 itu banyak undang-undang berubah tetapi rohnya tidak berubah. Perubahan itu terjadi setelah masyarakat adat sendiri menggugat pasal 67 Undang-Undang tentang Kehutanan yang menyebutkan, bahwa hutan masyarakat adat itu masuk dalam hutan Negara. Oleh karena itu, masyarakat adat melalui AMAN menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MA) RI, lalu Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa hutan masyarakat adat menjadi hak masyarakat adat dan bukan hutan Negara.
Keputusan MA itu menjadi yurisprudensi lalu Presiden RI Susilo Bambang memerintahkan itu dibuat dalam berbagai regulasi supaya hak-hak masyarakat adat itu diakui.
Di Kabupaten Jayapura langsung direspon oleh Bupati Jayapura Mathius Awoitahuw. Pada masa jabatan periode pertama 2012 – 2017, Mathius Awoitahuw memulai dengan berbagai kebijakan yang berpihak kepada masyarakat.
Masyarakat adat tidak pernah didengar dan tidak pernah disebutkan dalam sejarah penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di kabupaten Jayapura karena masyarakat adat dianggap tidak pernah ada
“Masyarakat adat itu penting karena mereka ada, sebelum masuknya agama dan pemerintahan. Mereka memiliki struktur kelembagaan, nilai-nilai dan norma-norma kemasyarakatan serta wilayah dan segala isinya. Namun eksitensinya tak pernah diakui negara,” kata Mathius, sang Bupati Jayapura itu.