Angngaru ini biasanya dilakukan pada saat penyambutan tamu dan pesta adat, seperti pernikahan dan pesta adat lainnya yang bersifat seremoni.
Angngaru berasal dari kata dasar aru, yang artinya adalah sumpah.
Jika diartikan, angngaru merupakan ikrar yang diucapkan orang – orang Gowa pada jaman dulu.
Tradisi ini biasanya diucapkan oleh abdi raja kepada rajanya, atau sebaliknya, oleh raja kepada rakyatnya.
Sebagai syair tua yang didalamnya terdapat makna filosofi diantaranya prinsip kesungguhan, kerelaan, keihklasan, patriotisme, pantang menyerah, dan pengabdi yang dapat dipercaya serta amanah pada tanggungjawab dalam setiap gubahan syairnya.
Aru’ juga diyakini mengandung nilai spiritual, dalam artian Aru’ harus diungkapkan dan dilaksanakan dengan jiwa yang sungguh-sungguh.
Syair Angngaru’ merupakan suatu susunan sastra dalam bahasa Makassar, yang diisi dengan kalimat – kalimat sumpah setia yang penuh keberanian, diucapkan oleh salah seorang tobarani di hadapan Raja.
Selain itu, sebagai ritual menyampaiakan simbol jaminan keselamatan dan kenyamanan selama sang tamu yang disambut selama mengunjungi dan berada di tempat tertentu.
Selain itu, tradisi pada jaman dahulu, dilakukan sebelum prajurit berangkat ke medan perang.
Para prajurit terlebih dahulu harus mengucapkan sumpah aru (sumpah setia) di depan sombayya.
Prajurit bersumpah untuk mempertahankan wilayah kerajaan, membela kebenaran, dan tak akan mundur selangkah pun sebelum mengalahkan musuh yang dihadapi.
Angngaru’ dilakukan bertujuan untuk menambah semangat juang, dengan nilai yang terkandung di dalamnya dimaknai sebagai bentuk jadi diri seorang laki-laki yang sesungguhnya.
Untuk menyatakan eksistensinya sebagai sebagai ksatria, maka prajurit yang telah berikrar, pantang baginya menyerah.
Sejarah Angngaru’
Tradisi mulai dilakukan sekitar abad ke-13 masehi.
Aru pada mulanya sebuah perjanjian yang diucapkan oleh raja kepada dewan adat.
Pada masa damai, di kerajaan Gowa, aru diucapkan oleh raja yang baru dilantik.
Sang Raja berikrar akan setia dan amanah melaksanakan tugas dan kewajibannya di hadapan Dewan Adat Sembilan (Bate Salapang) yang berfungsi sebagai wakil rakyat pada wilayahnya masing-masing.
Bukan hanya Bate Salapang, rakyat yang hadir juga mendengar sumpah raja.
Berikut kutipan Aru seorang raja kepada dewan adat saat pelantikan sebagai berikut:
Karaeng (Raja): “Kau angkat aku menjadi Raja, aku bertitah, engkau patuh. Aku ibarat angin dan engkau daun kayu”.
Setelah itu, Bate Salapang (Dewan Adat Sembilan) menjawab:
“Setelah engkau dilantik menjadi raja, maka engkau resmi menjadi raja. Kami pun menjadi hambamu. Namun Kalau kami menjunjung, tidaklah kami memikul. Kalau kami memikul, tidaklah kami menjunjung.”
“Engkau laksana angin dan kami daun kayu. Namun yang hanya menguning yang engkau rontokkan. Setelah engkau dilantik menjadi raja, hanyalah batang tubuh kami yang mempertuan. Hak milik kami tidaklah mejadi hakmu.”
“Engkau takkan mengambil ayam kami di tempat bertenggernya. Engkau takkan mengambil telur dalam keranjang di pekarangan kami. Engkau takkan mengambil sebutir pun kelapa kami dan setandang pinang kami.”
“Jika ada yang engkau inginkan dari kami, belilah yang pantas engkau beli, gantilah yang pantas yang engkau ganti. Mintalah yang pantas engkau minta, dan kami akan memberikan kepada engkau.”
“Engkau tidak boleh sewenang-wenang terhadap hak milik kami, sebab kami tidak termakan senjatamu, engkau pun tidak termakan senjata kami.”
Dalam dialog tersebut merupakan ikrar antara raja dan dewan adat, untuk memperoleh kesepakatan, bahwa raja adalah pemimpin yang memegang kendali atas rakyatnya.
Ia berhak untuk memutuskan dan rakyat pun harus patuh atas titahnya.
Selain itu, raja tak boleh sewenang-wenang terhadap rakyat yang dipimpinya.
Ada batasan di mana raja tidak mempunyai hak atas rakyatnya.
Jika ia menginginkan sesuatu yang dimiliki rakyatnya, maka ia hanya dapat memilikinya dengan sewajarnya.
Demikian dilansir Dalam suatu dialog yang dicapkan sebagai ikrar antara raja dan dewan adat itu, maka jadilah persepakatan (ketetapan dalam bentuk undang-undang), bahwa raja adalah pemimpin yang memegang kendali atas rakyatnya.
Ia berhak untuk memustuskan dan rakyat pun harus patuh atas titahnya.
Sebagai bagian tradisi yang mengandung pesan moral, termasuk didalamnya pesan spritiual, tidak semua orang bisa membawakan Angngaru.
Orang yang angngaru hanya bisa di hitung jari akan keberadaannya di setiap kelompok masyarakat di Sulawesi selatan.
Di era milenial saat ini, sudah jarang dijumpai dan ditampilkan oleh generasi muda budaya Angngaru.
Belum lagi kondisi sanggar seni budaya yang ada, sudah mulai sepi peminat untuk mengembangkan budaya yang menggunakan senjata khas Badik ini.
Sudah merupakan tanggung jawab kita bersama untuk menjaga dan melestarikannya, karena budaya tersebut merupakan identitas dan jati diri dan warisan nenek moyang kita yang tak ternilai. Mari kita jaga dan lestarikan. (Tribun Timur/Ansar)
Artikel ini telah tayang di Tribun-Timur.com dengan judul Cerita Warga Soal Hizbullah Pemuda Maros Tertusuk Keris Angngaru, Tinggalkan Makanan Gegara Teman