News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kasus Antraks Merebak, Dinas Peternakan Imbau Warga Tak Lakukan Brandu untuk Ternak Sakit

Penulis: Muhammad Renald Shiftanto
Editor: Endra Kurniawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi antraks - Untuk melakukan pencegahan meluasnya infeksi Antraks, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (DPKH) mengimbau masyarakat tidak melakukan brandu.

TRIBUNNEWS.COM - Merebaknya kasus temuan penyakit Antraks pada hewan ternak yang menular ke manusia di Gunungkidul, DI Yogyakarta cukup menjadi bahan perbincangan beberapa waktu ini.

Temuan Antraks tersebut bermula ketika warga Gunungkidul menyembelih sapi yang telah dikubur.

Sapi tersebut sebelumnya mati mendadak dan langsung dikuburkan.

Setelah menyembelih sapi tersebut, dagingnya dikonsumsi oleh sejumlah orang.

Untuk melakukan pencegahan meluasnya infeksi Antraks, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (DPKH) Gunungkidul, mengimbau masyarakat tidak melakukan brandu.

Hal tersebut diungkapkan oleh kepala Bidang Kesehatan Hewan DPKH Gunungkidul, Retno Widyastuti.

Baca juga: Kementerian Kesehatan Sebut Penyakit Antraks Bisa Menjadi Senjata Biologis

"Ya karena brandu ini yang membuat kasus Antraks di Gunungkidul sulit berhenti," kata Retno, dikutip dari TribunJogja.com, Senin (10/7/2023).

Brandu sendiri merupakan kebiasaan warga Gunungkidul.

Brandu sendiri adalah membeli ternak milik warga secara patungan agar tak merugi.

Ternak tersebut lantas disembelih dan dagingnya dibagikan.

Menurut Retno, brandu kerap dilakukan pada ternak yang sakit.

Hal tersebut bisa berbahaya, karena ternak yang sakit bisa berdampak bagi kesehatan manusia yang mengkonsumsinya.

"Kami kerap sampaikan ke warga kalau brandu itu ya ternak sehat, jadi tidak berbahaya jika dikonsumsi," ujarnya.

Retno menambahkan, penyebaran Antraks dari ternak bermula dari proses pemotongan hewan.

Baca juga: Komisi IX DPR: Masyarakat Harus Diedukasi Masif Cara Mencegah Antraks

Antraks, kata Retno, merupakan bakteri dalam darah.

Saat mengalir keluar bisa berubah menjadi spora.

Spora tersebutlah yang menularkan Antraks ke manusia maupun hewan ternak lainnya.

Ia menambahkan, spora tersebut bisa bertahan puluhan tahun, baik di tanah tempat pemotongan, hingga menempel di badan manusia.

"Spora ini juga bisa masuk ke manusia ketika terhirup, dagingnya dikonsumsi, atau kontak dengan cairan dari daging ke luka terbuka di tubuh," jelas Retno.

Diketahui, kasus Antraks ditemukan di Padukuhan Jati, Kelurahan Candirejo, Semanu, Gunungkidul beberapa waktu lalu ini juga bermula dari kebiasaan brandu.

Ada enam sapi dan enam kambing yang mati dan posisi Antraks.

Ternak yang mati tersebut dikonsumsi dan membuat puluhan warga terjangkit Antraks.

Satu orang di antaranya juga meninggal dunia karena positif Antraks.

Gapura batas Pedukuhan Jati di Kalurahan Candirejo, Semanu, Gunungkidul, Selasa (04/07/2023). Kasus Antraks ditemukan di wilayah ini usai ada warga yang meninggal dunia, awal Juni lalu. (TRIBUNJOGJA.COM/Alexander Ermando)

Baca juga: Mencuat Kasus Antraks, Bupati Purwakarta Galakkan Vaksin ke Ternak

Dinkes Gunungkidul Dorong Status KLB

Dinas Kesehatan (Dinkes) telah mengirimkan nota dinas ke bupati mengenai penanganan Antraks, dan penetapan Kejadian Luar Bisa (KLB) salah satunya.

Dewi Irawaty selaku Kepala Dinkes Gunungkidul mengungkapkan, status KLB bisa membuat penanganan Antraks jadi satu komando.

"Yang jelas penanganan akan terpadu dari pusat sampai ke daerah," kata Dewi seperti yang diwartakan TribunJogja.com.

Penetapan KLB juga bisa membuka peluang turunnya bantuan dari pemerintah pusat.

Karena keputusan KLB ada di tangan pemerintah daerah, pihaknya kini hanya menunggu keputusan.

"(Keputusan KLB) sudah menjadi ranah Pemerintah Kabupaten (Pemkab)," ujarnya.

Terkait penanganan kasus Antraks di Semanu, pihaknya telah melakukan banyak hal.

Dari kasus di Semanu tersebut, sebanyak 143 warga Padukuhan Jati telah diperiksa.

Sebanyak 87 di antaranya dinyatakan positif Antraks.

Pihaknya juga melakukan pemantauan kepada seluruh warga Jati.

"Pemantauan tetap berjalan selama masa inkubasi 120 hari, terhitung sejak kasus dilaporkan (Juni 2023)," jelas Dewi.

Selain itu, DPKH Gunungkidul juga telah melakukan vaksinasi.

Sebanyak 77 sapi dan 286 kambing sudah mendapatkan antibiotik hingga vaksin dan penyemprotan disinfektan.

(Tribunnews.com, Renald)(TribunJogja.com, Alexander Aprita)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini