ANG dan keluarganya merasa sangat malu karena telah mengundang warga sekitar.
Salah satu keluarga korban berinisial BN, lalu menawarkan kepada LB agar bersedia menggantikan posisi WB untuk melamar ANG sebagai istrinya.
Tindakan itu dilakukan untuk menutupi rasa malu dan mengangkat harga diri keluarga ANG.
LB pun akhirnya menyanggupi ide itu.
Sehingga, berdasarkan adat dan kebiasaan di Sumba, maka LB mengambil seekor kuda milik salah satu perangkat desa.
Kemudian LB mengikat kuda tersebut di depan rumah ANG sebagai tanda kalau ia hendak melamar.
Setelah itu, LB langsung masuk ke dalam kamar ANG bersama tiga orang lainnya.
Mereka langsung mengangkat tubuh ANG secara paksa dan hendak membawa ke rumah LB.
Ayah kandung ANG, NN (60) hanya bisa diam menyaksikan anak gadisnya diambil LB dan tiga pria lainnya.
Sementara ibu ANG sempat histeris dan pingsan menyaksikan anak gadisnya dibopong empat pemuda ke atas kendaraan.
LB dan tiga rekannya mengangkat dan membawa ANG ke luar rumah dengan cara dibopong.
ANG lalu dinaikkan ke atas mobil bak terbuka.
Selanjutnya ANG dibawa ke rumah LB.
Saat dibawa pelaku, ANG sempat berteriak dan menangis karena merasa malu dan sakit hati dengan WB yang tidak menepati janjinya.
ANG sempat melawan karena merasa dilema dan tidak bisa mengendalikan diri terhadap situasi yang sedang dialaminya.
Akibatnya, ANG mengalami beberapa luka lecet di pergelangan tangan kiri, punggung tangan kanan, dan memar di kaki kanan, akibat genggaman dari para pelaku saat membopongnya naik ke mobil.
Ketika tiba di rumah pelaku LB, ANG dinaikkan ke atas rumah.
Sesuai budaya Sumba, saat tiba di rumah LB, ANG diberikan sebilah parang oleh LB sebagai tanda lamaran.
"Saat itu korban menerimanya dengan terpaksa," kata Iptu Doni Sare.
Pada malam hari, ANG menginap di rumah pelaku LB dan tidur bersama tante pelaku.
Selama berada di dalam rumah pelaku, ANG tetap diperlakukan secara baik.
Pelaku mengaku melakukan hal tersebut karena berniat untuk mengangkat kembali harkat dan martabat ANG, yang merupakan saudara sepupunya.
Namun, cara mengambil atau membawa korban untuk dijadikan sebagai istri, bertentangan dengan undang-undang.
"Kasus ini sedang kita tangani, dengan memeriksa sejumlah pihak terkait," ujar Iptu Doni Sare.
Apa itu Kawin Tangkap?
Kawin tangkap merupakan tahap awal dari proses peminangan perempuan dalam adat masyarakat Sumba.
Dalam istilah adat, cara peminangan ini dinamakan piti rambang atau ambil paksa.
Dalam hal ini, calon mempelai laki-laki akan 'menangkap' calon mempelai perempuannya untuk kemudian dilamar dan dinikahi.
Sebenarnya istilah kawin tangkap di Sumba sudah dihentikan sejak 2020 lalu.
Empat bupati di Pulau Sumba saat itu menandatangani kesepakatan bersama stop kawin tangkap yang masih terjadi beberapa waktu lalu.
Bupati Sumba Barat, Drs Agustinus Niga Dapawole menegaskan, dari sisi budaya Sumba tidak mengenal adanya kawin tangkap. Yang benar menurutnya adalah kawin lari.
"Dan, secara tradisi budaya Sumba membolehkan hal itu terjadi," ujar Bupati Niga melalui Asisten Adminstrasi Umum Setda Sumba Barat, Yermia Ndapa Doda S.Sos, sesaat setelah menghadiri rapat tindak lanjut atas penandatanganan kesepakatan bersama empat bupati se-Sumba tentang stop kawin tangkap.
Rapat ini dipimpin Bupati Niga Dapawole di ruang rapat Bupati Sumba Barat, Senin (20/7/2020).
Yermia menjelaskan kawin lari terjadi bila anak perempuan dan laki-laki saling mencintai tetapi kedua orang tua tidak setuju.
Keduanya pun memutuskan kawin lari agar proses perkawinan cepat terlaksana.
Menurutnya, kawin lari terjadi bila kedua anak saling mencintai dan salah satu keluarga perempuan atau laki-laki tidak setuju.
Dengan demikian dua sejoli memilih jalan pintas kawin lari dan sebagainya.
Selanjutnya, perwakilan keluarga laki-laki memberitahu keluarga perempuan bahwa anaknya ada di rumah laki-laki.
Pada titik ini, diakui Yermia, akan terjadi perundingan kedua belah pihak untuk membicarakan penyelesaian secara adat.
Biasanya keluarga perempuan datang membawa kain dan babi untuk menerima belis berupa kuda dan kerbau.
"Bila kedua belah pihak sepakat, maka akan berlangsung proses adat pembelisan seperti biasa," terang Yermia.
Namun demikian, Yermia mengakui, di zaman modern sekarang, hal itu jarang terjadi bahkan tidak terjadi lagi.
Kawin lari itu terjadi sekitar 15-20 tahun lalu.
Yang terjadi sekarang, proses perkawinan terjadi karena anak laki-laki dan perempuan saling mencintai dan orang tua hanya merestui saja.
Tentu semua harus berjalan sesuai adat budaya Sumba.
Untuk itu, lanjutnya, pemerintah akan mengadakan pertemuan lagi dengan tokoh adat enam kecamatan sebelum membentuk tim melakukan sosialisasi tentang stop kawin lari dan berujung pembuatan perda nantinya.
Sumber: (Reporter POS-KUPANG.COM, Petrus Piter) (Kompas.com)
Sebagian artikel ini telah tayang di Pos-Kupang.com dengan judul Wakapolres Sumba Barat Daya Sebut Proses Hukum Pelaku Kawin Tangkap Beri Efek Jera
Artikel ini telah tayang di Pos-Kupang.com dengan judul Kawin Tangkap di Sumba Barat Daya, Kapolsek Wewewa Barat: Semua Pelaku Sudah Ditangkap