"Lupa, Yang Mulia."Haluoleo Terkait Kasus Perizinan Tambang Blok Mandiodo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus dugaan korupsi perizinan tambang Blok Mandiodo Konawe Utara, Sulawesi Utara saat ini sedang bergulir di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk delapan terdakwa.
Kedelapan terdakwa itu ialah: eks Direktur Jenderal Mineral dan Barubara (Dirjen Minerba) pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ridwan Djamaluddin; eks Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Minerba pada Dirjen Minerba, Sugeng Mujiyanto; Koordinator Pengawasan Usaha Operasi Produksi dan Pemasaran Mineral, Yuli Bintoro; Subkoordinator Pengawasan Usaha Operasi Produksi Mineral, Henry Julianto; Evaluator Pengawasan Usaha Operasi Produksi dan Pemasaran Mineral, Eric Viktor Tambunan; Pelaksana Lapangan PT Lawu Agung Mining, Glenn Ario Sudarto; Direktur PT Lawu Agung Mining, Ofan Sofwan; dan Pemilik PT Lawu Agung Mining, Windu Aji Sutanto.
Dalam persidangan Senin (4/3/2024), Saksi Direktur PT Tristaco Mineral Makmur (TMM) Rudi Tjandra di bawah sumpah sempat mengungkapkan dugaan keterlibatan unsur militer, yakni sosok Danrem.
Namun saat ditemui Tribun Sultra di Rutan Kendari, dia mengklaim tidak menyebutkan instansi militer dalam keterangannya.
"Majelis Hakim di sana tidak pernah mau kita sebutkan instansi maupun institusi. Semua instansi, baik kepolisian maupun militer. Tidak ada," ujarnya.
Pun terkait dugaan keterlibatan Danrem, disebutnya tidak ada.
"Pak hakim tidak pernah menanyakan kepada saya sebagai saksi tentang masalah Pak Danrem atau siapapun, tidak ada," katanya.
Dalam berita sebelumnya, Tribunnews telah melakukan revisi penyebutan nama Danrem Brigjen Ayub Akbar. Nama yang disebutkan Rudi Tjandra bukan Brigjen Ayub.
Ditemui terpisah, Brigjen Ayub Akbar mengaku tidak pernah mengenal dan bertemu dengan saksi sebagai Direktur PT Tristaco Mineral Makmur
“Tidak benar, saya dengan saksi atas nama Rudi Tjandra itu sebelumnya tidak kenal dan tidak pernah ketemu sama sekali,” katanya kepada TribunnewsSultra.com pada Kamis (7/3/2024).
Menurut Brigjen Ayub, dirinya bahkan belum menjabat Danrem 143/Haluoleo saat awal kasus tersebut bergulir.
“Sejak awal kasus itu bergulir saya belum menjadi komandan Korem,” katanya.
Sebagai informasi, dalam persidangan Senin (4/3/2024) di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat keterangan saksi mengenai dugaan keterlibatan Danrem terungkap saat Majelis Hakim mengajukan pertanyaan.
Awalnya Majelis Hakim telah mendapatkan fakta bahwa PT TMM menggarap tambang nikel di Blok Mandiodo, Sulawesi Tenggara bermodalkan dokumen perizinan milik PT Antam atas nama PT Kabaena Kromit Prathama (KKP).
Hasil penambangan itu kemudian dijual kepada Pelaksana Lapangan PT Lawu Agung Mining, Glenn Ario Sudarto yang duduk di kursi terdakwa.
Majelis lantas mempertanyakan sosok yang menjadi penghubung di antara mereka.
"Siapa yang mengarahkan saudara supaya berhubungan dengan Glenn? Siapa yang menyuruh saudara? Yang memberi tahu seperti itu siapa?" tanya Hakim Ketua, Fahzal Hendri.
"Dari Korem, Yang Mulia," kata saksi Rudi.
"Korem itu instansi TNI?" kata Hakim Fahzal.
"Iya, Yang Mulia," jawab Rudi.
"Siapa?" tanya Fahzal lagi.
"Danrem, Yang Mulia," ujar Rudi.
Agar lebih yakin, Hakim Fahzal kemudian memastikan bahwa Danrem yang dimaksud ialah Komandan Korem 143/Halu Oleo.
Namun kesalahan pemberitaan sebelumnya terletak pada penulisan nama Danrem yang disebutkan saksi.
Nama Danrem yang disebutkan oleh saksi ialah Brigjen TNI berinisial Y, bukan Brigjen TNI Ayub Akbar.
"Danrem siapa?" tanya Hakim Fahzal kepada Rudi.
"Pak Y," jawab Rudi.
"Dia yang bilang berurusan dengan Glenn, gitu?" tanya Fahzal lagi.
"Iya."
Selama 2 bulan, sebanyak 15 ribu metrik ton bijih ore nikel berhasil dikeruk PT TMM. Semuanya ditampung di dua tongkang.
Menurut Rudi, dia menggarap tambang nikel di Blok Mandiodo Sultra dengan dokumen perizinan atas nama PT Kabaena Kromit Prathama.
Pengurusan dokumen itu pun berdasarkan keterangan Rudi, dilakukan oleh pihak Korem.
"Dibuat semua atas nama PT KKP. Siapa yang ngurus semua surat KKP itu?" tanya Hakim Fahzal.
"Ada pihak korem, Yang Mulia," jawab Rudi.
Setiap metrik ton bijih ore nikel yang dikeruk, Rudi mesti membayar USD 17,5 untuk pengurusan dokumennya.
"17,5 Dolar per ton yang harus diselesaikan, kewajiban," kata Rudi.
Namun saat dicecar harga ore nikel yang dijual kepada PT Lawu Agung Mining, Rudi mengaku lupa.
Berdasarkan pantauan di ruang sidang, Hakim Fahzal sampai menaikkan intonasinya saat itu.
"Kemudian dijual dengan surat KKP. Satu tongkang berapa harganya?" tanya Hakim Fahzal kepada Rudi.
"Karena pada waktu itu menjual berdasarkan harga pasar," kata Rudi.
"Berapa harganya? Bingung? Sampai sini ndak tau harganya?" ujar Fahzal dengan intonasi meninggi.
"Lupa, Yang Mulia."