"Awalnya jumlah rombel masih enam. Kelas satu sampai kelas enam. Sekarang sudah jadi 11," terangnya pada Kamis (13/6/2024).
Rombel bertambah karena jumlah murid baru yang mendaftar ke sekolah itu.
Sementara sekolah yang didirikan tahun 1978 itu memiliki hanya sembilan lokal.
Menurut Apriwardi, semakin rombel bertambah sampai 11, ruangan yang ada di sekolah pun dialihfungsikan menjadi kelas.
"Sekarang ruang guru di ruang perpustakaan. Jadi murid sudah nggak muat kalau baca buku di perpustakaan," ujarnya.
Apriwardi mengakui, penolakan orangtua murid masih terus disampaikan kepada pihak sekolah.
"Beberapa orangtua nggak mau anaknya belajar di kelas (bekas WC) itu," katanya.
Selain bekas WC, ruangan itu juga jauh dari layak dan atapnya banyak yang bocor.
Beruntung ada pohon kelapa sawit yang daunnya melindungi kelas itu dari terik matahari.
Sekolah tidak mempunyai solusi lain sehingga sebagian orangtua akhirnya terpaksa menerimanya setelah diberi penjelasan.
Sudah berlangsung 5 tahun
Apriwadi mengungkapkan, banunan bekas WC itu sudah lama digunakan untuk kegiatan belajar mengajar.
"Sudah lima tahun anak-anak belajar di situ. Itu ruang belajar murid kelas satu," ungkapnya melalui sambungan telepon Kompas.com, Selasa (11/6/2024) malam.
Dia menyebut, bangunan yang jauh dari kata layak tersebut diisi 18 murid karena kekurangan lokal.