"Apalagi nanti pada penghukuman, masuk dalam lembaga pemasyarakatan, tidak harus seperti itu," paparnya.
Reza menjelaskan, ada langkah 'elegan' yang bisa digunakan untuk menyelesaikan kasus guru Supriyani.
Yakni dengan restorative justice, sebuah upaya penyelesaian hukum dengan cara kesepakatan bersama.
"Pandangan saya tentang pentingnya restorative justice ini juga segendang sepenarian dengan komitmen Kapolri, Jenderal Listyo Sigit."
"Dalam komitmen ketujuh yang dia utarakan sesaat setelah dilantik sebagai Kapolri adalah betapa pentingnya personil Polri mengedepankan pendekatan restorative justice bukan litigasi," urainya.
Reza menegaskan, apa yang ia utarakan ini tidak dimaksudkan sebagai pembenaran terhadap kekerasan.
Menurutnya, dalam Undang-undang Perlindungan Anak sudah dijelaskan, kekerasan baik itu fisik, psikis, maupun seksual adalah pidana.
"Jadi tidak ada ruang pembenaran bagi kekerasan. Namun, apakah pada kasus ini telah terjadi atau justru tidak terjadi kekerasan, itu saya tidak tahu."
"Dan sepenuhnya itu saya serahkan kepada otoritas penegakkan hukum yang faktanya proses hukumnya sudah berjalan," tandasnya.
Sebagai informasi, hari ini, Senin (28/10/2024), sidang kedua kasus guru Supriyani digelar di Pengadilan Negeri (PN) Andoolo, Konawe Selatan.
Penasihat hukum Supriyani, Andri Darmawan mengatakan, kasus Supriyani ini direkayasa.
Baca juga: Pengacara Aipda WH: Guru Supriyani Mengaku Pukul Anak Aipda WH
Menurutnya, kasus ini memiliki konflik kepentingan antara pelapor dan penyidik, di mana mereka satu kantor.
"Kemudian ada paksaan kepada Ibu Supriyani untuk mengaku padahal dia tidak melakukan."
"Ada permintaan Rp50 juta. Jadi itu semua pelanggaran prosedur," katanya, dilansir TribunnewsSultra.com.