TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru honorer Supriyani di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, didakwa melakukan penganiyaan terhadap muridnya, tuduhan yang sejak awal dia bantah.
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menyebut terdapat perlindungan yang timpang antara murid dan guru.
Walau tak memungkiri terdapat sejumlah guru yang “melampaui batas saat mendidik murid” organisasi itu menganggap para guru juga kerap mendapat perlakuan buruk akibat profesi mereka, termasuk penganiayaan.
Lantas mengapa Supriyani harus duduk di kursi terdakwa padahal terdapat sejumlah regulasi yang melarang kriminalisasi terhadap guru?
‘Harus selesai tanpa ke pengadilan’
Dalam kasus di Konawe Selatan, Wibowo Hasyim, seorang orang tua murid yang berstatus polisi dengan pangkat ajun inspektur dua melaporkan Supriyani ke Polsek Baito.
Aipda Wibowo menuduh Supriyani, guru honorer di SD Negeri 4 Baito, memukul paha anaknya dengan sapu ijuk pada 24 April lalu.
Akibatnya, tuduh Wibowo, anaknya mengalami luka.
Supriyani dan para guru di sekolah itu telah berulang kali membantah tuduhan Wibowo, baik kepada majelis hakim maupun kepada pers.
Terlepas dari persidangan kasus Supriyani yang masih berlangsung, persoalan terkait kenakalan atau ketidaktertiban serta upaya guru mendisiplinkan murid seharusnya tidak masuk ke urusan pidana.
Pendapat ini dikatakan Asep Iwan Iriawan, mantan hakim yang kini menjadi dosen di Universitas Trisakti.
Menurutnya, guru berhak merespons sikap dan perbuatan peserta didik dalam batas wajar.
Asep berkata, kalaupun orang tua murid tidak sepakat dengan cara mendidik yang diterapkan guru, persoalan itu semestinya diselesaikan di sekolah, bukan di kantor polisi atau pengadilan.