TRIBUNNEWS.COM - Tuntutan bebas terhadap guru Supriyani di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, justru menuai polemik.
Sejumlah pihak mengkritik Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas tuntutan tersebut.
Pasalnya, jaksa tetap beranggapan Supriyani telah melakukan tindak pidana menganiaya muridnya, yang seorang anak polisi.
Namun, di sisi lain, jaksa juga menuntut bebas Supriyani karena dianggap tak ada niat jahat.
Praktisi hukum Edwin Partogi pun menyoroti tuntutan jaksa tersebut.
Menurutnya, tuntutan bebas itu merupakan upaya cuci dosa yang dilakukan oleh jaksa.
"Ada kesan ini bagian dari cuci dosa dari jaksa karena sebenarnya kan proses perkara sampai persidangan tidak akan terjadi kalau tidak ada dakwaan dari jaksa yang dari proses penyerahan perkara dari penyidik ke jaksa," katanya, dikutip dari YouTube Nusantara TV, Rabu (13/11/2024).
Edwin menuturkan jaksa punya kewenangan untuk melakukan penghentian perkara di level kejaksaan, tetapi hal itu tidak dilakukan.
Edwin juga menilai ada nuansa tidak ikhlas dari jaksa dalam membuat tuntutan tersebut.
Ia kemudian menyinggung kesaksian dokter forensik Rumah Sakit Bhayangkara, Raja Al Fath Widya Iswara, dalam persidangan di Pengadilan Negeri Andoolo, Kamis (7/11/2024).
Dalam kesaksiannya, Raja mengatakan luka yang dialami korban D tidak disebabkan oleh pukulan sapu ijuk.
Baca juga: 3 Kejanggalan Tuntutan Bebas Supriyani: JPU Dianggap Cari Aman hingga Waktu Pemukulan Sesuai BAP
Luka itu juga bukan memar, melainkan melepuh seperti luka bakar dan luka lecet.
"Sehingga jika merujuk pada dokter forensik ini saja, untuk membantah alat bukti atau barang bukti yang diajukan sebagai alat kekerasan yaitu sapu ijuk," ungkapnya.
Lebih lagi, Edwin menilai tuntutan tersebut adalah bagian dari upaya jaksa merubah posisi menjadi "pahlawan" dalam kasus Supriyani.