TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - IWAS alias Agus Buntung (21), pria penyandang disabilitas asal Mataram, NTB membantah telah melakukan kekerasan seksual atau rudapaksa terhadap seorang mahasiswi berinisial M (23).
Kepada wartawan, Agus membantah telah melakukan rudapaksa karena kondisi fisiknya yang disabilitas atau tunadaksa.
Baca juga: Sebelum Bunuh dan Perkosa Penumpang di Luwu Timur, Sopir Travel Sempat Pura-pura Buang Air Kecil
"Yang saya bingungkan bagaimana saya memperkosa? Sementara saya terus terang saya enggak bisa buka celana sendiri, enggak bisa buka baju sendiri. Dan memang kalau perkosaan itu ada kekerasan seksual, bagaimana saya melakukan kekerasan seksual?" kata Agus.
Agus mengaku awalnya bertemu dengan korban di Taman Udayana, Mataram.
Baca juga: Modus Agus Buntung Rudapaksa Korban: Diajak ke Home Stay Disuruh Sucikan Diri, Mandi Bersih
Setelah berkenalan dan mengobrol, Agus lalu meminta tolong kepada korban untuk mengantarkan ke kampus.
Namun, bukannya diantar ke kampus, korban mengajak tersangka Agus ke salah satu homestay di Mataram.
Dikatakan Agus, korbanlah yang membayar kamar.
Lalu, membukakan pintu kamar homestay, hingga melakukan hubungan suami istri di sana.
Tersangka Agus mengatakan tidak berani melawan karena saat itu sudah tidak berbusana.
Dia mengeklaim dirinya yang menjadi korban dan dijebak.
"Karena saya enggak habis pikir sampai kasus ini sampai sebesar ini karena pulang pergi baik-baik saja. Dia yang bayar, dia yang bukain, dia yang nutupin. Saya hanya nurutin aja apa maunya dia, tiba-tiba kok saya kayak gini. Nah, saya berani bilang kalau saya ini dijebak," kata Agus.
Pasca-kejadian di homestay tersebut, korban melaporkan tersangka ke Polda NTB atas dugaan kekerasan seksual.
Agus mengatakan telah dipanggil dan ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi.
Saat ini dia sudah menjalani 17 hari tahanan rumah.
Agus berharap, kasus yang dihadapi segera selesai agar bisa berkuliah dan bermain gamelan lagi seperti semula.
Baca juga: Jadi Tersangka, Begini Awal Mula Agus Buntung Kenal Mahasiswi di Udayana Lalu Dituduh Memperkosa
Pengakuan Mahasiswi
Sementara itu, Ade Latifa Fitri, yang merupakan pendamping M, mengatakan, korban akhirnya memberanikan diri untuk melaporkan kejadian yang dialami ke Polda NTB.
Sebelum kejadian, korban diduga mendapat ancaman dan intimidasi oleh tersangka Agus.
"Yang dialami (korban) pada akhirnya adalah terjadi persetubuhan yang itu terjadi mungkin sulit diterima oleh nalar, nalar sederhana sulit diterima, tapi hal-hal seperti itu bisa terjadi dengan berbagai macam cara, bukan hanya bentuk fisik, tapi juga manipulasi, ancaman, intimidasi itu juga sangat memungkinkan untuk melemahkan korban," kata Ade.
Ade menceritakan, kejadian berawal saat korban berkenalan dengan tersangka AG di Teras Udayana.
Saat itu, korban tengah mencari udara segar sendirian.
Lalau tersangka Agus mendekati korban dan mengajak ngobrol.
"Dari obrolan itulah yang pada akhirnya cara manipulasi itu kemudian dilakukan. Memang kekuatan kata yang dilakukan pelaku, dengan memanfaatkan kondisi psikologis korban," kata Ade.
Tersangka sempat meminta korban melihat ke arah utara, di mana saat itu ada orang yang tengah melakukan tindakan asusila.
Melihat kejadian itu, korban lalu menangis.
Tersangka lalu menanyakan masa lalu korban.
Lalu pada akhirnya korban menceritakan aib masa lalunya kepada tersangka.
Ade mengatakan, setelah mendengar aib masa lalu yang selama ini disimpan oleh korban.
Agus lalu mengajak korban ke bagian belakang Teras Udayana.
"Saat itu tersangka mengatakan bahwa korban harus disucikan dari masalahnya di masa lalu dan caranya adalah mandi bersih dengan cara ikut bersama pelaku ke homestay itu," kata Ade.
Ade mengatakan, saat itu korban sempat menolak ajakan tersangka.
Namun, tersangka kemudian mengancam akan menceritakan aib tersebut kepada orangtua korban jika tidak menuruti kemauannya.
Takut dengan ancaman tersebut, korban M lalu menurut saat diajak tersangka ke salah satu homestay.
"Justru yang memaksa terjadinya perjalanan sampai ke homestay itu adalah karena paksaan dari si pelaku. Jadi manipulasi, ancaman, dan intimidasi itu dilakukan kepada si korban," kata Ade.
Menurut Ade, tidak ada satu hal pun yang bisa menghalangi seseorang berbuat kejahatan jika memang sudah ada niat dan kesempatan.
"Jadi ketika kita melihat si pelaku yang ada keterbatasan (disabilitas) dan segala macamnya, kita tidak bisa kemudian semerta-merta menihilkan bahwa mereka punya upaya," kata Ade.
Apalagi tersangka adalah seorang yang produktif dalam kesehariannya.
"Dia bukan orang yang benar-benar kesulitan terkapar di kasur dan sebagainya. Kalau kita lihat keseharian dia adalah mahasiswa, dia bepergian kuliah, dia bisa bersama teman-teman dan lain sebagainya," kata Ade.
Menurut Ade, keterbatasan tersangka tidak semerta-merta menihilkan peluang kekerasan seksual terjadi.
Apalagi dengan yang dilakukan tersangka adalah dari ancaman intimidasi verbal.
"Mungkin bagi masyarakat, ya bagaimana ancaman dan intimidasi bisa berakhir di perkosaan, justru itu karena permainan emosi yang dilakukan oleh pelaku yang bisa melemahkan korban," kata Ade.
Pihaknya berharap masyarakat terus mengawal proses hukum ini untuk mengungkap siapa yang benar dan siapa yang salah.
"Jangan sampai tidak ada kemungkinan di dalamnya, karena banyak kemungkinan terjadi, apalagi korban berani melaporkan, artinya korban sudah berupaya dengan keras," tutur Ade.
Baca juga: Pengakuan Pria Disabilitas yang Jadi Tersangka Rudapaksa, Agus Jelaskan Apa yang Terjadi di Homestay
Ditetapkan Sebagai Tersangka
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda NTB, Kombes Syarif Hidayat, membenarkan bahwa saat ini Agus sudah ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana kekerasan seksual (TPKS).
Syarif mengatakan, tersangka Agus dijerat dengan Undang-Undang TPKS dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara.
"Ya sudah (tersangka), Pasal 6 Huruf C UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS," kata Syarif, dikonfirmasi melalui pesan singkat, Minggu (1/12/2024).
Syarif menjelaskan, dugaan kekerasan seksual ini terjadi di sebuah homestay di Kota Mataram pada 7 Oktober 2024 sekitar pukul 12.00 Wita.
Terkait kasus ini, polisi sudah memeriksa sejumlah saksi dan menyita barang bukti.
Polisi juga sudah berkoordinasi dengan Komisi Disabilitas Daerah NTB, psikolog, dan jaksa penuntut umum (JPU).