TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pada dekade 1960-an Pakta Pertahanan Atlantik Utara berencana mengadakan sebuah pesawat angkut kelas medium dengan kemampuan lepas landas dan mendarat di landasan pendek (Short Take off and Landing/STOL) atau bahkan yang memiliki kemampuan lepas landas dan mendarat secara vertikal (VTOL).
Engineer Fiat Aviazione yang dipimpin Giuseppe Gabrielli langsung membuat rancangan sebuah pesawat turboprop menggunakan mesin Rolls-Royce Dart dengan kemampuan VTOL.
Pesawat ini kelak bisa beroperasi dengan sedikit dukungan dari kru darat. Misalnya, ia tidak perlu lagi di-pushback karena baling-balingnya yang bisa berputar ke arah berlawanan.
Pesawat ini diberi nama G.222.
Sayang, cetak biru G.222 tidak disambut baik oleh NATO. Bahkan tidak lama kemudian Fiat Aviazione dinyatakan pailit dan digabung dengan pabrikan pesawat asal Italia lainnya, Alenia Aermacchi.
Angkatan Udara Italia di sisi lain tertarik dengan desain pesawat ini dan memesan dua purwarupa dan sebuah airframe untuk keperluan uji coba.
AU Italia berniat menguji sendiri purwarupa itu dengan mengganti mesin Rolls-Royce Dart dengan mesin General Electric T64 yang tergolong lebih baru.
Desain twin boom tail juga diubah menjadi jenis yang paling umum digunakan pesawat. AU Italia juga menghilangkan kemampuan lepas landas dan mendarat secara vertikal.
Tanggal 18 Juli 1970, G.222 berhasil menuntaskan penerbangan perdananya di bawah kendali pilot uji Vittorio Sanseverino.
Puas dengan hasil uji terbang, AU Italia langsung menandatangani kontrak 44 unit G.222 dan diikuti pesanan lainnya dari Argentina, Nigeria, Somalia, Venezuela, dan Thailand.
Tahun 1977 Libya ikut memesan G.222 tapi kemudian diveto AS akibat sanksi embargo yang diberikan kepada Libya.
Tahun 1990, AU AS menginginkan sebuah pesawat angkut di bawah Hercules yang bisa dioperasikan dalam waktu singkat untuk memberikan dukungan logistik kepada pasukan di lapangan.
Program yang kemudian menjadi doktrin baru di AU AS ini dinamakan Rapid Response Intra-Theater Airlifter (RRITA).
G.222 bersaing dengan CASA CN235, namun melihat performa G.222 di Perang Falklands AU AS akhirnya menjatuhkan pilihan ke produk Alenia.