News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Eksklusif Tribunnews

Besarnya Dampak Covid-19 Terhadap Industri Perfilman: Kru Film Memilih Bertani Hingga Bisnis Kuliner

Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Dewi Agustina
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Produser, sutradara, dan penulis naskah Andibachtiar Yusuf saat wawancara khusus dengan Tribunnews, di Jakarta, Sabtu (13/6/2020). Wawancara Andibachtiar dengan tribunnews terkait perkembangan pelaku industri perfilman Indonesia di tengah pandemi Covid-19. TRIBUNNEWS/HERUDIN

Dan penonton film Indonesia secara umum tidak berpikir seperti itu. Penonton film Indonesia kan berpikir sesuatu yang simpel, fun, nonton bola, cakep pemainnya.

Produser, sutradara, dan penulis naskah Andibachtiar Yusuf saat wawancara khusus dengan Tribunnews, di Jakarta, Sabtu (13/6/2020). Wawancara Andibachtiar dengan tribunnews terkait perkembangan pelaku industri perfilman Indonesia di tengah pandemi Covid-19. TRIBUNNEWS/HERUDIN (TRIBUNNEWS/HERUDIN)

Jadi akan susah mengembalikan tren masyarakat nonton dari rumah ke bioskop?

Bakal susah. Tapi saya ngeliat itu mungkin ada di poin nomor dua atau tiga ya. Soalnya yang nomor satu adalah, misal kita syuting di bulan November. Film-film yang kemarin mengantre itu lagi ngisi di sini. Kan urutannya kedorong mundur.

Untuk masuk daftar 21, itu kalau PH yang agak kecil atau menengah suka agak lama. Jadi dia juga kedorong mundur. Berarti hitungan investasinya bakal berubah. Kalau kita mengurus investasi beberapa bulan satu tahun, hitungannya bank.

Jadi kalau misalnya syuting September, September tahun depan sudah tayang. Nah, mampu tidak melawan pergeseran ini? PH yang sudah besar sih mampu melawan ini. Karena mereka sudah punya tanggal yang secure. 21 sudah tahu kalau mereka akan ngisi film terus. Jadi mereka akan punya jatahnya di situ. Cuma pemain yang baru-baru, mungkin akan susah.

Baca: PAN Hormati Judicial Review Perppu Pilkada

Kalau pemain lama mungkin akan tetap jalan. Kayak Starvision itu pasti bakal tetap syuting. Kan banyak PH besar kecenderungannya, ketika film Indonesia mati, mereka tetap hidup. Ketika tahun 96, Starvision movie ada semua. Tetap berusaha bikin sekalipun mereka pindah TV. MD itu mereka sudah tidak ada TV lagi.

Makanya mereka pasti akan tetap produksi film. Ya mungkin dengan risiko tertular, angka produksinya naik.

Balik lagi kalau bicara soal protokol kesehatan, kalau jam kerja dibatasi, syuting tidak gampang. Misalnya nih, katanya Juli akhir sudah dikasih izin. Harusnya Juni saja sudah dikasih, soalnya ada yang sudah syuting. Kasih izin kita syuting di perumahan. Syuting di perumahan, tahu-tahu di kampung belakang ada yang PDP, kan disuruh bubar di sini.

Memang satu produksi itu orang yang terlibat 50 sampai 80. Kalau dia di atasnya, ada yang 100 atau 200. Ada yang 300 bahkan. 50 sampai 80 itu syuting yang kecil, itu akan ada satu atau dua tenda.

Atau makai rumah penduduk buat pemain, buat kru naro barang, buat makanan, ada keramaian itu pasti ada. Belum lagi mobil-mobil. Itu aja kan warganya kasih izin atau enggak. Warga butuh duit misalnya, tapi kalau ada yang kena Covid tetangga pusing juga mereka.

Produser, sutradara, dan penulis naskah Andibachtiar Yusuf saat wawancara khusus dengan tribunnews, di Jakarta, Sabtu (13/6/2020). Wawancara Andibachtiar dengan Tribunnews terkait perkembangan pelaku industri perfilman Indonesia di tengah pandemi Covid-19. TRIBUNNEWS/HERUDIN (TRIBUNNEWS/HERUDIN)

Di luar Covid, film apa yang sangat ingin mas buat?

Film action sih. Kayaknya semua sutradara Indonesia mau bikin film action. Tapi kesempatannya langka banget.

Kenapa sekarang belum mencoba?

Cerita ada. Teks sudah, tapi ini kan bikin berhenti. Ada yang tahun depan sudah diomongin, akhir tahun akan diomongin, tapi terus karena situasi begini jadi kita berhenti dulu ngomongin.

Impian terbesar mas Andi sebagai sutradara?

Kalau impian gw yang paling gede sebenarnya gw mau buat sesuatu yang bisa American Market. Menurut gw sesuatu yang American Market yang emang production company yang di sana. Karena beda.

Kalau ngomongin American Market film gw yang syuting di sini juga masuk Netflix di region Amerika. Ya itu American Market juga, tapi hal yang beda dengan kalau misalnya gw bikin The Outsiders terus tayang di jaringannya MMC (Amerika). Yang punya impian seperti itu sih punya. Bukan karena apa ya, tapi karena mereka keren aja. Industri film di sana.

Baca: Daftar Harga Sepeda Polygon Terbaru Juni 2020 di Bawah Rp 5 Juta, Ada MAZE 20 hingga RAYZ ONE

Sutradara yang paling menginspirasi?

Gw pengen kayak Clint Eastwood. Sudah tua masih mikir, sudah 90 tahun. 90 tahun masih riset, masih mikir, kan keren. Ada sutradara Portugal dia meninggal usia 110. Syuting terakhir umur 109.

Untuk pencapaian sih gw suka sama Teguh Karya. Mungkin kalau dilihat film gw juga bentuknya hampir sama. Sama dalam pengertian sample pemain, shot ukuran ruang. Romeo dan Juliet berantem di angkot, berantem di bus, berantem di kereta, berantem di lapangan. Ruang itu. Gw suka Teguh Karya. Clint Eastwood, Christopher Nolan gw juga suka.

Dari film-film yang udah Anda rilis, apa pesan yang ingin disampaikan?

Ada film gw yang praktis. Jadi saya di-hire untuk bikin film. Saya ada tiga atau empat film yang saya di-hire. Cuma saya berusaha untuk nawar elemen yang saya pengen. Kalau saya sesimpel sesuatu yang ada di sekitar kita itu bisa ada di film, karena gampang relate sama orang. Kalau lihat film saya yang terbit tahun 2019.

Produser, sutradara, dan penulis naskah Andibachtiar Yusuf saat wawancara khusus dengan Tribunnews, di Jakarta, Sabtu (13/6/2020). Wawancara Andibachtiar dengan tribunnews terkait perkembangan pelaku industri perfilman Indonesia di tengah pandemi Covid-19. TRIBUNNEWS/HERUDIN (TRIBUNNEWS/HERUDIN)

Itu saya taro unsur anak remaja ada berantemnya, ada jatuh cintanya. Indonesia ini, Jakarta lah, tempat yang dekat sama laut. Tapi berapa banyak sih film setting Jakarta yang ada unsur laut?

Bahkan orang Jakarta sendiri lupa kalau kita di pinggir laut. Kalau bicara pantai, itu pun di Bali. Jadi semua film saya yang bahkan setting di Jakarta sekalipun, selalu ada lautnya. Kalau orang selalu merasa ada sepakbolanya, tapi kalau sepakbola kalau menurut saya sesuatu yang saya paksakan saja. (Tertawa)

Ada nih, karena orang bilang begitu, jadi gw jagain aja terus. Tapi itu tidak susah, masalahnya kalau saya mau bikin konten kayak Love for Sale 2, saya tidak bisa ke laut.

Karena ceritanya jadi terpaksa. Tapi itu saya kasih kayak misalnya semua karakter tidak ada yang naik kendaraan pribadi. Semua naik kendaraan umum, karena hari ini. Makanya saya pikir love for sale 2 dia duduk di Kopaja ya yang kayak Kopaja sekarang kita lihat.

Baca: Bantah Tudingan Miring, Jordi Cerita Peran Ruben Onsu di Balik Nama I Am Geprek Bensu

Saya juga baru sadar ketika ada yang review film itu di Twitter dan kayaknya pegawai Pemda, soalnya dia bercerita soal tata ruang dan transportasi kota.

Itu dia bikin trheat yang lumayan panjang, menceritakan karakter yang naik kendaraan umum itu tadi. Karakter itu bepergian naik ojek, ke sini naik bus, ke sini naik mikrolet, ke sini naik kereta.

Saya kemudian, "Iya juga ya." Saya awalnya tidak sadar, mungkin karena saya berusaha mendekatkan itu sama secara tidak semua orang naik mobil.

Saya suka unsur yang, sesuatu itu kalau makin personal, itu makin kreatif. Jadi saya deketin mungkin ke diri saya sendiri saja. Situasi Ekonomi saya dulu dan sekarang beda. Jadi saya lebih mengingat dulu saya naik apa, dilihat zaman sekarang begini tinggal diadaptasikan saja. (dennis destryawan)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini