"Ini bukan perlombaan, melainkan bentuk ngayah kepada leluhur kami,” ujar seorang peserta, I Kadek Sulatra kepada Tribun Bali.
Bagi Sulatra, perang pandan dianggap yadnya yang paling ikhlas terhadap Tuhan, ketika mengorbankan darahnya.
”Perang Pandan ini merupakan kurban dari penganut Dewa Indra sendiri. Kalau tak dilakukan, takut ada kejadian yang tak diinginkan,” terang Kelian Desa Adat Tenganan lainnya, I Wayan Yasa.
Sambil Megibung, Luka Diobati dengan Ramuan Tradisional
"Sakit tidak terlalu sih, tapi perih," ujar Komang, salah seorang pemuda yang mengikuti tradisi tersebut, sembari melempar tawa.
Perang Pandan atau Mekare-kare di Desa Tenganan, Pengringsingan, Karangasem, Bali. (Tribun Bali/Rizal Fanany)
Usai pertandingan hari pertama, sambil megibung (tradisi makan bersama-sama), para pemuda ini pun diobati luka-lukanya.
Dengan menggunakan obat tradisional berwarna kekuningan, yakni racikan para daha yang telah disiapkan sehari sebelumnya.
"Obatnya dibuat dari campuran cuka, kunyit dan bahan-bahan tradisional lainnya. Sudah disiapkan para daha dari kemarin," tambah Sudiastika.
Puncak Perang Pandan akan digelar hari Selasa (9/6).
Perang Pandan atau Mekare-kare di Desa Tenganan, Pengringsingan, Karangasem, Bali. (Tribun Bali/Rizal Fanany)
Jika kemarin digelar di Bale Petemu Kaja, hari ini dipanggungkan di Bale Petemu Tengah.
Tak hanya oleh masyarakat Desa Tenganan, para wisatawan baik lokal Bali hingga mancanegara pun datang untuk menyaksikan tradisi setahun sekali ini.
Kemarin, ratusan umat manusia menyesaki panggung Perang Pandan, hingga ada beberapa penonton sampai pingsan.