Sekitar lima menit kemudian, kami dipersilakan untuk berkonsultasi dengan para shinse di ruangan khusus.
Berdua-dua, kami memasuki ruangan-ruangan kecil di dalam bangunan tersebut. Di dalam ruangan tersebut shinse memberi penjelasan, dibantu seorang penerjemah, tentang penyakit.
Ia lalu "mendiagnosis" penyakit kami dengan melihat telapak kiri.
Teman saya lalu didiagnosis menderita gangguan liver dan hormonal.
Kepadanya ditawarkan obat seharga kurang lebih 400 yuan atau sekitar Rp 920.000. Teman saya menolak dengan alasan tidak punya uang.
Shinse perempuan tersebut lalu mengatakan bahwa kesehatan lebih berharga daripada uang.
"Kalau beli baju kamu pasti tidak peduli harganya, masak untuk kesehatan tidak mau keluar uang," katanya seperti disampaikan sang penerjemah.
Saya berusaha memberi kode kepada teman saya untuk tidak terbujuk.
Bukannya pelit atau tidak sayang kesehatan, tetapi selain harga obatnya sangat mahal, saya tidak percaya ada orang yang bisa mendiagnosis penyakit hanya lewat telapak tangan.
Bahkan, ia hanya melihat telapak tangan tak lebih dari lima menit, lalu hampir 20 menit menjelaskan tentang penyakit.
Karena teman saya bersikukuh tidak mau membeli, sang shinse lalu menawar obat setengah dosis dengan harga 200 yuan.
Dengan nada agak memaksa, ia lalu memberi kami potongan harga menjadi 100 yuan.
Tetapi kami bergeming. Saya dengan tegas juga mengatakan tidak berminat dengan obat tersebut.
Wajah shinse dan penerjemah itu tampak kecewa.