Yulia mengaku menikmati makanan yang dia pesa yakni kue daging sapi, ikan, susu kedelai dan pangsit.
"Tempatnya juga nyaman, dingin," kata dia.
Yulia mengaku hanya terkendala bahasa saja ketika memesan makanannya.
"Kendalanya bahasa karena susah mengerti. Harga nggak (kurang) ramah di kantong," kata dia.
Harga relatif mahal
Sisil yang sering bepergian ke luar negeri mengatakan harga makanan di Islam Food lebih mahal dibandingkan di Malaysia atau di Singapura.
Sisil membandingkan karena di sini, rumah makan ini di wilayah pertokoan. Sementara di Singapura atau Malaysia yang pernah dia kunjungi, ada di dalam mal.
"Tapi rasanya oke lah," kata perempuan berkaca mata ini.
Di sana, kami memesan roti daging sapi, pangsit, daging ayam, susu kacang, ikan asem manis dan udang telor asin. Rasanya memang terbilang oke, apalagi ikannya sangat sedap ketika masuk mulut.
Di sana, pengunjung harus bayar tunai. Mereka tidak menerima pembayaran menggunakan kartu.
"Bayarnya harus cash, tidak boleh kartu," kata Sisil.
Tidak mengandalkan dekorasi megah
Dinukil dari website Islam Food, restoran ini didirikan dan dimiliki keluarga Ma. Ma mulai berbisnis mulai tahun 1920 ketika mulai belajar memasak roti Cina di Shanghai.
Tahun 1930, Ma belajar memasak kari Pakistan saat bekerja di kantor polisi di Hong Kong. Masakan itu untuk para petugas yang beragama Islam
10 tahun kemudian, Ma menikah di China. Dia mulai membuka toko makanan menjual kue kue-kue dan sup. Ma kemudian melarikan diri ke Hong Kong karena invasi Jepang.
Baca juga: AirAsia Resmi Buka Penerbangan Rute Jakarta-Hong Kong