News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Merapi Meletus

Mengapa Media Sangat Berkuasa di Indonesia?

Editor: Iswidodo
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pengungsi di Stadion Maguwoharjo Sleman, Jumat (5/11/2010).

Ditulis oleh Tribunners, Nugroho Trisnu Brata

YOGYAKARTA-
Mengapa media bisa berbuat tirani dan sangat berkuasa di Indonesia? Karena jaman sekarang media memiliki kemampuan memproduksi realitas dengan didukung oleh kemampuan dana yang bersifat kapitalistik. Dengan dana tertentu maka bisa diperoleh laba sesuai yang diinginkan.  Dan yang tak kalah penting adalah dukungan regulasi sehingga media memungkinkan bisa berbuat tirani dan berkuasa di Indonesia.

Coba cermati lagi tayangan infotainment “Silet” di stasiun RCTI Minggu siang tanggal 7 November 2010 pukul 11.00-12.00 WIB membuat miris  para penonton. Acara ini menampilkan ramalan bahwa pada 7 dan 8 November 2010 akan terjadi letusan gunung Merapi paling dahsyat.

Yogyakarta adalah kota malapetaka yang akan rata dengan tanah. Sumber informasinya meragukan tetapi presenternya sangat meyakinkan dengan ekspresi wajah tegang.

Stasiun TV lain pada  30  Oktober 2010 juga menyiarkan kabar bahwa wedhus gembel (awan panas) telah meluncur sejauh 25 kilometer. Langsung saja berita ini membuat kepanikan hebat para pengungsi di Hargobinangun Pakem yang jaraknya tidak sampai 15 kilometer dari puncak Merapi, sebab Kawasan Rawan Bencana (KRB) saat itu masih dalam radius 10 kilometer. Setelah dikonfirmasi ternyata yang dimaksudkan bukan awan panas yang mematikan, melainkan hujan abu yang tidak begitu berbahaya.

Korban Gempa Jadi Tontonan Mengasyikkan

Dua kasus di media televisi ini menjadi contoh bagaimana peran media massa ternyata bukan hanya berfungsi menghadirkan realitas ke hadapan publik. Media massa ternyata mampu memproduksi “realitas”--walau secara subjektif.

Akibat mediasi oleh media massa maka masyarakat yang menderita karena menjadi korban letusan gunung Merapi, menjadi terekspose kemana-mana. Di sini terjadi proses transformasi dari korban gempa menjadi tontonan “yang mengasyikkan” (?).

Fenomena bencana meletusnya gunung Merapi direkayasa sedemikian rupa atau dimanipulasi dengan dibumbui ramalan-ramalan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Bahwa akan terjadi letusan paling dahsyat pada tanggal tertentu. Ini seolah-olah menjadi tontonan televisi yang mengasyikkan sekaligus menegangkan.

Di sini terjadi proses tirani-media, di mana media massa membuat representasi diri masyarakat yang diberitakan bukan dengan perspektif masyarakat. Media membuat representasi masyarakat dengan perspektif media sendiri yang tentunya sangat subjektif.

Dari perspektif logika pasar maka tontonan yang bisa meng-hegemoni pemirsa dan memiliki rating tinggi adalah bagus karena bisa mendatangkan aliran dana melalui iklan. Akan tetapi dari perspektif nilai-nilai kemanusiaan tontonan ini sungguh tidak manusiawi, tidak memiliki empati terhadap penderitaan korban bencana Merapi.

Begitu muncul kabar akan terjadi letusan paling hebat dengan radius 65 km dari puncak Merapi maka barak-barak pengungsian bergolak. Ratusan ribu pengungsi yang jiwanya sedang terguncang mengalami kepanikan hebat dan berusaha pergi mengungsi ke tempat lain yang dianggap lebih aman. Para petugas dan relawan yang mendampingi pengungsi pun kalangkabut menenangkan para pengungsi dari kabar tidak bertanggung jawab tersebut.

Ketika Yogyakarta dikatakan sebagai kota malapetaka yang akan rata dengan tanah maka predikat sebagai kota pendidikan yang nyaman pun runtuh. Para pelajar dan mahasiswa dari berbagai penjuru Indonesia maupun dari berbagai negara menuntut ilmu di Yogya. Para pelajar dan mahasiswa yang tidak menjadi korban letusan Merapi juga ikut panik. Eksodus ke luar Yogya bahkan ke luar Indonesia pun terjadi. Masyarakat di luar Yogya maupun di luar Indonesia yang memiliki keluarga di Yogya pun ikut panik dan berusaha menjalin kontak dengan keluarganya di Yogya.

Stigma Yogyakarta sebagai kota malapetaka terasa menyakitkan bagi warga Yogyakarta dan mengusik sendi-sendi kehidupan sebagai kota budaya, kota wisata, dan kota pendidikan. Hanya karena sedang tertimpa musibah gunung meletus yang seharusnya mendapat empati secara luas, tapi mengapa Kota Yogya divonis sebagai kota malapetaka? Stigma ini tentu saja tidak bisa lepas dari media yang memiliki kemampuan memproduksi realitas, termasuk memproduksi stigma.

Media sebagai Social Control

Fungsi lain dari media massa adalah sebagai social control terhadap kebijakan negara maupun terhadap dinamika kehidupan masyarakat. Media massa menjadi penyeimbang jika terjadi kesenjangan antara kebijakan negara dengan kepentingan masyarakat. Media massa juga menjadi alat mediasi jika terjadi ketimpangan sosial antar warga masyarakat. Akan tetapi media massa sering gagal melaksanakan fungsinya karena media massa sering menjadi “pemain” atau melaksanakan peran-peran negara.

PM Laksono (2009;103) juga mengatakan bahwa, “Mereka (media) berada dalam satu posisi dengan negara. Mereka melihat permasalahan secara sangat kovensional, bagaikan negara melihat, yaitu dengan penyederhanaan dan regimentasi. Mereka ikut-ikutan meregimentasikan persoalan kedalam tampilan statistik dan grafis yang sangat sederhana”.

Yang banyak terjadi media massa menjadi pengumpul bantuan untuk masyarakat korban letusan gunung Merapi baik berupa uang maupun barang. Mereka kemudian menyalurkan langsung kepada para korban di tempat pengungsian dan tanpa diaudit oleh pihak yang berwenang. Ini adalah peran media massa yang sungguh tidak profesional. Peran tersebut seharusnya menjadi wilayah negara, NGO, lembaga sosial, atau lembaga keagamaan yang memiliki profesionalitas dalam bidang itu.

Bencana meletusnya gunung Merapi sudah sangat mengguncang kondisi kejiwaan para korban. Stress, depresi, sedih, khawatir, dan teralinasi bercampur-aduk dalam diri para korban di tempat pengungsian. Di sini fungsi media sebagai kontrol sosial terhadap kebijakan penanganan korban bencana sangat diperlukan. Bukannya malah memproduksi berita yang menjadi “bencana kedua” dan makin membuat terpuruk kejiwaan korban bencana atau bahkan menyebabkan mereka bunuh diri seperti yang terjadi di Pakem dan Cangkringan, Kabupaten Sleman.

NUGROHO TRISNU BRATA,
Pengajar di Jurusan Sosiologi & Antropologi, Fak. Ilmu Sosial, Unnes
Mahasiswa Program S-3 Antropologi UGM Yogyakarta.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini