Fenomena korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) sebagai bentuk kejahatan yang kita jumpai saat ini tidak jauh beda dengan budaya feodal kerajaan Hanya saja zaman serta dari tata cara kerja dan motif operandinya yang berbeda, namun tetap pada substansi yang sama yaitu menyelewengkan kekayaan rakyat serta eksploitasi hak-hak rakyat kecil dengan kebijakan yang korup.
Praktek korup seperti ini memang telah berlangsung sejak sejak lama. Sifatnya yang membudaya dari satu generasi ke generasi berikutnya mengharuskan upaya penanganan yang konsisten dan berkelanjutan. Korupsi di Indonesia telah menjadi kejahatan struktural yang dapat menghambat pemenuhan kebutuhan primer seluruh lapisan masyarakat, terutama kalangan rakyat kecil.
Melihat kenyataan seperti ini, kita tidak ragu untuk mengatakan bahwa di negeri ini hukum benar-benar tengah mengalami masalah yang sangat serius. Kepercayaan publik terhadap aparat hukum (polisi, jaksa, hakim dan pasti juga pengacara), nyaris ke tititk yang paling nadir. Bukan tidak ada oknum aparat hukum yang putih. Tapi warna dominan yang tampak dewasa ini memang telah meng-hitam.
Korupsi yang hebat bisa saja terjadi di kalangan wakil rakyat dan para pejabat, mulai dari tingkat ketua RT, lurah, camat, bupati, gubernur sampai yang lebih atas lagi. Atau dilakukan oleh aparat birokrasi dari esselon paling rendah sampai ke yang paling tinggi. Akan tetapi, sehebat apa pun korupsi terjadi, selama aparat penegak hukum masih tegak lurus hatinya, maka tidak ada alasan bagi kita untuk terlalu khawatir.
Tapi apabila yang korup itu penegak hukumnya, apalagi jika telah mewabah ke seluruh jajaran dan lapisannya, maka siapakah yang bisa menyelamatkan negeri? Kasus jual beli keputusan, tawar menawar perihal berat ringanya tuntutan, sogok-menyogok menyangkut penyidikan, sampai dengan ulah mengkaburkan tahanan, begitu merata digunjingkan orang.
Bukan di negeri ini tidak ada hukum (lawless). Sepanjang sejarah belum pernah negeri ini memiliki perangkat hukum/perundang-undangan seperti yang dipunya sekarang ini. Sejak tahun 1950-an tercatat lebih dari 13.00D peraturan perundang-undangan telah dihasilkan oleh Republik ini. Belum terhitung peraturan-peraturan turunan (derivative) di bawahnya.
Oleh karena itu, yang sebenarnya terjadi, ribuan ketentuan hukum yang sudah ada sedikit sekali yang telah benar-benar ditegakkan. Hukum disebut benar-benar ditegakkan adalah ketika ia ditegakkan sesuai dengan prinsip-prinsipnya. Yakni obyektif, konsisten, tidak diskriminatif dan demi keadilan.
Bukan penegakan hukum, melainkan pengkhianatan hukum, jika ia dikenakan sesuka hati, se-kenanya, secara tebang pilih, tidak untuk keadilan, dan apalagi hanya untuk menambah penghasilan.
Membuat hukum tanpa disertai tekad kuat untuk menegakkannya justru akan mencelakakan bangsa ke jurang kebangkrutan, lebih cepat 100 kali dibanding mereka yang berfikir sebaliknya.
Tapi inilah yang kita saksikan pada bangsa kita. Begitu kuatnya anggapan menyesatkan di masyarakat kita, seolah semua masalah bangsa akan segera dituntaskan, hanya apabila aturan atau hukum telah dirumuskan dan jargon telah dipekikkan.
Aparat penegak hukum semisal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sungguh sangat strategis dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kebaikan aparat hukum akan berdampak luas pada kebaikan negara, dan buruknya aparat hukum akan menyebabkan keburukan luar biasa kepada kehidupan negara dan bangsa. Oleh sebab itu, reward dan punishment untuk mereka layak diberikan secara berlipat-ganda.
Untuk itu, demi menjamin tegaknya hukum di negri ini yang pada gilirannya akan menjamin tegaknya pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean government), layak kita ikhlaskan bersama standar reward (tsawab/kesejahteraan dan penghormatan) yang berlipat-ganda bagi segenap aparat penegak hukum kita yang lurus dalam mengemban amanatnya.
Pada saat yang sama, kepada mereka juga kita ancamkan punishment (iqab/hukuman) yang berlipat ganda pula, apabila mereka mempermainkan hukum, mengkhianati amanat suci yang ada di pundaknya. Hukum dan keadilan terhadap aparat penegak hukum & keadilan, musti kita jadikan agenda utama, membenahi bangsa dan negara.
Dalam MUNAS Alim Ulama di Jakarta pada Juli 2002, NU mengatakan, koruptor jangan dishalati sebelum ia mengembalikan uang jarahannya. Fatwa demi memberikan sanksi sosial ini tidak lain sebagai pintu masuk bahwa korupsi adalah faktor utama kebangkrutan negeri. Dari fatwa mati inilah, lahir gerakan-gerakan sistematis tentang pola keterlibatan agamawan untuk memerangi korupsi dalam konteks kesejahteraan sosial.