Kedua, soul approach. Pemberantasan terorisme harus dilakukan dengan komunikasi yang mendidik, bukan dengan kekerasan dan intimidasi.
Ketiga, menyentuh akar rumput.
Program deradikalisi dan pemberantasan terorisme harus menyentuh pada semua orang yang ter-ekspose paham radikal. Dari kelimat Petrus, jelas sekali tujuan deradikalisasi dan pemberantasan terorisme bukan membentuk kekerasan baru maupun dengan menghina agama tertentu.
Juga harus menghormati HAM, serta disertai komunikasi yang baik. Sayangnya, yang terjadi dalam pemberantasan terorisme saat ini, bahkan sejak awal tidaklah bisa seperti yang tertulis di dalam buku Petrus. Justru terjadi kebalikannya: keras, sadis, dan hina. Jelas, ini ada something wrong.
Bahkan, kalau boleh saya tulis, saking banyaknya something wrong dan kejanggalannya, upaya pemberantasan terorisme justru lebih dekat pada upaya labelisasi terorisme ketimbang pemberantasannya.
Banyak orang-orang yang tidak tahu menahu terorisme, tiba-tiba disergap, dianiaya, disiksa, dan sebagian dijebloskan ke penjara hanya karena label terduga tersebut. Baik yang terduga maupun yang terbukti’ di pengadilan, kini telah menimbulkan label-label baru tidak hanya kepada orang-orang terduga tersebut sebagai teroris.
Sekali lagi, yang mendapatkan label teroris bukan hanya terduganya, tetapi juga kepada keluarganya, tetangganya, bahkan kawasan terjadinya pembantaian seperti Ciputat.
Fenomena tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan Clarence Schrag (1971) bahwa seseorang menjadi penjahat bukan karena dia melanggar Undang-undang, melainkan karena dia ditetapkan demikan itu oleh penguasa. Wallahua’lam bishawab. #
Penulis: Mustofa B Nahrawardaya
v Peneliti Terorisme Indonesia Crime Analyst Forum (ICAF)
v Aktifis Muda Muhammadiyah
v Twitter @MustofaNahra