TRIBUNNEWS.COM - “Dari biji kopi, orang Gayo hidup dan menyambung hidup. Dari kopi pula mereka menyekolahkan anak sampai perguruan tinggi. Dari hasil kebun kopi, orang Gayo kawin dan naik haji. Kopi adalah harta karun, zamrud khatulistiwa, dirawat dengan segenap jiwa.”
Hamparan perkebunan kopi rakyat menyelubungi bukit dan lembah Tanah Gayo di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah.
Gunung berapi Burni Telong anggun menjulang dengan permadani hijau di kakinya. Permadani itu adalah bentangan perkebunan kopi dengan tanaman pelindung lamtoro.
Pemandangan serba hijau juga memantul tatkala pandangan diarahkan ke sebelah kanan, dengan genangan Danau Taut Tawar di ujungnya.
Burni Telong atau gunung yang terbakar adalah gunung berapi aktif dengan ketinggian 2600 meter di atas permukaan laut. Burni Telong pernah meletus pada 7 Desember 1924.
Gunung tersebut hanya berjarak lebih kurang 5 Km dari Redelong, ibukota Kabupaten Bener Meriah. Masyarakat gayo menyebut Burni Telong dengan nama Burni Cempege, atau gunung penuh belerang.
Keanggunan Burni Telong dengan genangan awan yang menyelimuti pinggangnya, dapat dinikmati dari Kelupak Mata, desa yang berada dalam kawasan Kabupaten Aceh Tengah.
Aceh Tengah dan Bener meriah adalah dua kabupaten yang berbatasan langsung. Bener Meriah merupakan kabupaten pemekaran dari Aceh Tengah, berdasarkan UU No 41/2003.
Kelupak Mata dalam bahasa Indonesia berarti kelopak mata, benar-benar menjadi kelopak bagi seluruh pandangan mata. Desa ini terletak di sebuah pucuk bukit yang bisa dicapai dari dari Desa Sukarami atau Bukit Menjangan. Aspal hitam tampak berkelok-kelok di celah bukit dan lembah, dan sesekali melintasi mobil yang berjalan mendaki.
Jalanan mulus. Ini adalah bagian dari buah pembangunan yang sejak sepuluh tahun terakhir dipacu habis-habisan oleh pemerintah daerah setempat. Kelupak Mata, seperti juga desa-desa lainnya di Aceh Tengah dan Bener Meriah merupakan sentra perkebunan kopi rakyat.
Tanaman kopi pada bulan September masih memekarkan bunga. Tapi ada juga beberapa kebun yang sudah membulirkan buah hijau dan sedikit buah merah. Tanaman kopi itu dinaungi lamtoro yang juga kelihatan sehat
Ada lagi yang namanya Singahmata. Dalam bahasa Gayo, singahmata, artinya tempat mata singgah untuk menatap keelokan alam Tanah Gayo yang asri.
Mata benar-benar dimanjakan oleh indahnya alam. Danau Laut Tawar dengan hiasan bukit dan gunung menggenang di depan mata. Apabila cuaca cerah, di kejauhan tampak Kampung Bintang di ujung Timur danau. Bukit dan lembah Singah Mata juga dilapisi permadani hijau kopi.
Penyair Gayo, Ibrahim Kadir melukiskan Singah Mata begitu syahdu dalam sebuah puisi didong “Kin Takengen” (Untuk Takengon). Setiap perantau Gayo yang meninggalkan kampung halaman, akan melayangkan pandangan terakhir dari Singah Mata. “Ari Singah Mata, pemarin ku erah, o Takengen selo demu kite mien” (dari Singah Mata terakhir kutatap, o Takengon kapa kita bersua lagi).