TRIBUNNEWS.COM - DAUN kopi dikeringkan dan diremas. Potongan daun itu kemudian diseduh dalam segelas air mendidih. Untuk menambah rasa, diminum dengan gula merah.
Orang Gayo menyebut cara minum seperti itu dengan istilah “minum kupi olong” atau minum kopi daun. “Olong” dalam bahasa Gayo, artinya daun dalam bahasa Indonesia.
Cerita tentang “kupi olong” ini disampaikan M Yusuf Hakim, dalam suatu perbincangan di rumahnya di Kampung Hakim, Takengon, Aceh Tengah. Rumahnya “bertengger” di sebuah bukit di persimpangan Bale Atas dan Kampung Hakim.
“Kupi olong” itu terjadi pada jaman Belanda. Kolonialis melarang orang-orang lokal minum dari biji kopi.
“Ketika itu berkembang kabar, bahwa biji kopi beracun untuk orang lokal. Kami juga ditakut-takuti, kulit dan warna mata kami akan ikut berubah seperti kulit dan mata ‘kapir’ kalau minum kopi,” kenang Yusuf Hakim tentang masa remajanya. Ia lahir pada 1940 di Takengon.
Kisah tentang minum “kupi olong” juga dikabarkan penyair Gayo Ibrahim Kadir.
“Masa itu orang Gayo sama sekali belum memiliki pengetahuan apapun tentang cara minum kopi,” kata Ibrahim Kadir di rumahnya sambil menikmati hidangan kopi susu.
“Saya masih ingat, karena orangtua saya melakukannya seperti itu,” kata Ibrahim Kadir, pemeran sosok “penyair” dalam film “Tjoet Nja’ Dhien” karya Eros Djarot dan tokoh utama film “Puisi Tak Terkuburkan” karya sutradara Garin Nugroho.
Belakangan disadari oleh penduduk Gayo, minum “kupi olong” adalah cara Belanda mengelabuhi masyarakat lokal agar tidak memiliki perhatian terhadap biji kopi yang mulai berproduksi dari perkebunan-perkebunan kopi pada pertengahan 1930-an.
Cara minum kopi juga mengalami perubahan. “Orang Gayo juga mulai minum kopi seperti Belanda minum kopi,” kata Ibrahim Kadir.
Di Gayo terdapat beberapa cara minum kopi. Ada yang disebut “kupi (kopi) kertub, kupi tubruk, kupi saring,” sampai kopi hasil seduhan “coffee maker” atau alat penyeduh kopi impor.
“Kopi kertub” terbilang cara minum kopi orang Gayo paling klasik. Seduhan kopi diminum terpisah dengan gula aren. Potongan gula aren dalam bentuk dadu kecil diemut dalam mulut dan kemudian kopi diminum. Antara gula aren dan kopi “beradu” dalam mulut. “Waktu itu di Gayo hanya ada gula gula aren yang diolah sendiri oleh masyarakat. Kopi dihirup, lalu dicicip gula aren,” kata Yusuf Hakim.
Cara minum kopi lainnya adalah “kopi tubruk,” yaitu campuran bubuk kopi dengan gula putih dalam satu cangkir berisi air panas. Cara minum kopi seperti ini umumnya berlaku di rumah tangga di Gayo.
Ampas bubuk kopi yang mengendap di dasar gelas, kadang-kadang dioleskan ke batang rokok. Sementara kopi saring—ini umumnya banyak berlaku di warung-warung kopi milik orang Aceh---seduhan kopi yang disaring menggunakan saringan kain.