News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Persatuan untuk Kesejahteraan

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Direktur Klinik Pancasila menyaksikan serah terima KerupukIkan GALAKSI (Gerakan Aksi Langsung Atasi Kemiskinan Sejak Dini) sebagai perluasan Program SKEMA (Sistem Kerjasama Ekonomi Masyarakat Aktif) di Muara Kamal, Jakarta.

Oleh: Dody Susanto
Direktur Klinik Pancasila

TRIBUNNEWS.COM - Sila Ketiga Pancasila yang menyatakan "Persatuan Indonesia" merupakan tatanan kebangsaan. Sukarno dalam Pidato Sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai, 1 Juni 1945, saat mengenalkan Pancasila ini menegaskan akan persatuan itu. Persatuan terjadi tidak hanya antar neklus sosial kemasyarakatannya melainkan juga dengan bumi alamnya yang diidentifikasi sebagai Tanah Air. Benarlah adanya, karena Bumi dan Alam Indonesia terdiri dari tanah dan sebagian besar air itulah yang menjadikan ciri dan tatanan kebangsaan "Orang Indonesia." Kebangsaan, Nationale stoat, berdiri di atas kesatuan Bumi Indonesia yang, kemudian, menentukan siapa dan apa Manusia Indonesia itu.

Konteks kekinian, Manusia dan masyarakat Indo¬nesia menghadapi tantangan globalisasi. Jika dulu Sukarno mengungkapkan wacana dan wawasan. kebangsaan dengan sungkan, maka sekarang Manusia Indonesia tertuntut untuk menegaskan kem- bali akan Kebangsaannya. Sebab di situ, terbentang fakta keberagaman dan keberbedaan masyarakat Indonesia menghendaki Persatuan dan Kesatuan, yang merupakan modal pembangunan kesejahteraan bersama—sebagaimana kehendak founding fathers dalam mendirikan persatuan kebangsaan "dari semua buat semua."

Sila Ketiga Pancasila ini lebih jauh sebenarnya menegaskan bahwa Persatuan di situ juga berarti bahwa orang perorang, masyarakat antar masyara¬kat saling menjamin keamanan dan keselamatan terhadap dan atas yang lain. Maka dalam praktiknya negara terlibat aktif menyelenggarakan kehidupan masyarakat atau terselenggaranya "Persatuan" yang aman menuju tatanan adil dan sentosa. Gerakan Aksi Langsung Amalkan Sejak Dini (GALAKSI) Pancasila menurunkan Bantuan Aktif Ketentraman Masyarakat (BATARA) yang kelak memunculkan neklus-neklus sosial yang aktif membangun dan mengadakan dengan mandiri ketentraman dan kedamaian lingkungannya.

Terkait dengan persatuan, bumi faktual Indonesia adalah beragam dan majemuk. Maka fakta ini tidak menutup kemungkinan munculnya peluang dan tantangan untuk mengolah dan mengelola keberbe- daan dan keberagaman ini menjadi simpul dan nilai perekat persatuan itu sendiri. Dan sila ketiga ini, dengan disokong oleh nilai-nilai sila-sila lainnya, mempunyai peluang dan asas rasional untuk mewujudkan satu tatanan yang bersatu dalam perbedaan dan aman, adil serta sejahtera. Jika wujud ini tercapai, seseorang tidak menutup pintu pun sudah merasa aman karena tentram dalam "jaminan" sila ketiga yang nilai-nilainya terus bekerja dalam relung kehidupan masyarakatnya.

Bantuan Aktif Ketentraman Masyarakat (BATARA) dalam hal ini melibatkan institusi keamanan dan perlindungan masyarakat sendiri. Dan Negara berperan antif mendorong dan menyelenggarakan kehidupan sosial yang tentram dan aman. Kepolisian yang menerima amanat sosial untuk mewujudkan ketentraman masyarakat adalah perpanjangan tanggung jawab Negara dalam mewujudkan cita-cita yang lebih mendasar yaitu "Persatuan yang Tentram.”
Dengan sila ketiga ini, masyarakat dan Manusia Indonesia ditantang kemampuan untuk mewujudkan amanat dari nilai sila ketiga ini; Persatuan dan Kesatuan. Inilah Tujuan Eksistensial Pancasila yang menuntut talenta anak negeri untuk terus mewujudkan cita persatuan nasional republik!

"DARI Sabang sampai Merauke/ berjajar pulau- pulau// sambung menyambung menjadi satu/ itulah Indonesia..// Indonesia tanah airku aku berjanji padamu/ menjunjung tanah airku/ tanah airku In¬donesia//" Penggalan lagu tersebut saat ini terasa kering, sunyi, dan nyaris kehilangan makna. Terlebih jika ditautkan dengan lagu nasional "Tujuh belas Agustus tahun empat lima/ itulah hari kemerdekaan kita// hari merdeka/ nusa dan bangsa/ hari lahirnya bangsa Indonesia/merdeka..//''

Lagu pertama itu adalah sosok fisik diri kita, bangsa ini, yang berduduk di hamparan gugus pulau-pulau dalam keberagaman dan keberbedaan yang wantah. Dan ungkapan itu adalah materialisasi kebangsaan.
kita atas bumi dan alamnya. Karena itu, kita lah yang pantas disebut penduduk negeri ini. Suatu kerangka kesatuan alam (Tanah Air) dan manusia (Penduduk negeri) dimana alam menyimpan ragam kekayaan hayati yang indah dihuni manusia yang hidup dalam keragaman tradisi, keyakinan, dan suku bangsa.

Sekarang Indonesia telah merdeka, merdeka dari bentuk penjajahan gaya abad 19-an. Yang, walaupun kita sudah seinci bergeser dari gerbang abad 21, belum tentu merdeka dari penjajahan gaya abad 20-an. Memang Sila ketiga "Persatuan Indonesia," telah mengikat suku-suku dan region-region Hindia-Timur menjadi Indonesia. Akan tetapi, hal ini perlu diingatkan akan ke-Bhinneka-annya yang sewaktu-waktu mengancam kesatuan (Ngatunggal ika)-nya. Semua upaya akan menjadi kosong ruang aplikasinya jika slogan NKRI, Pancasila dan Merah-Putih final pada tataran komitment permukaan, dan konsensus nasional atas ketiga simbol tersebut. Sangat melegakan memang, namun, dalam tataran implementatif, ternyata menyisakan kekhawatiran atas keterpecahan. Sebab prakarsa-prakarsa akan NKRI, pengamal- an Pancasila, pengibaran Panji Merah Putih belum lagi menjadi selendang aktivitas patriotisme (Semangat Kejuangan) dan berjarak pada semangat harian "Orang Indonesia" dalam kemandirian pembangunannya.

Sebab lainnya atas kemandegan proses berbangsa ini ialah minusnya kreatifitas, prakarsa positif dan aktif menjaga kesatuan dan spirit yang menyatukan, serta kohesifitas nilai budaya nasional yang demikian terlantar. Serta kekurangpekaan akan Indahnya Taman Pancasila yang bersemikan kekayaan dan kearifan majemuk yang terbit dari pengalaman dan nilai budaya bangsa.
Jika ini dibiarkan ancaman tidak hanya akan menimpa fisik faktual bangsa ini dan materialnya tetapi juga berarti bangsa ini sengaja menghapus Tujuan Eksistensial bangsa yang terkandung dalam nilai Sila Ketiga Pancasila. Yang artinya kita tidak lagi mempunyai Nationale-staat. Arti lainnya kita menyia-nyiakan bahkan melemahkan apa yang telah dirintis dan dibangun oleh para Founding Fathers kita.

Situasi kekinian bangsa ini terus mendesakkan adanya semangat kebaruan atas apa itu Kebangsaan kita. Untuk itu bangsa ini dituntut untuk segera membenahi kondisi kekiniannya secara faktual, jujur dan tegas. Maka ada Tugas Besar: bagaimana menggalaksikan Pancasila. Terutama mendorong sila ke-3 Pancasila sebagai satu tonggak nilai untuk mengembalikan ordinat kebangsaan kita pada ruh eksistensinya. Sehingga terselenggara Kehendak Perenial Pancasila di atas Bumi kaya hayati, panorama indah yang tak kan bisa dilupakan.

Gerakan Aksi Langsung Amalkan Sejak Dini (GALAKSI) nilai-nilai Pancasila menurunkan BASARA (Bantuan Aktif Satukan Amanah Negara Pancasila) kelak menuju persatuan yang hakiki. Dimana rakyat, TNI/Polri dan Komponen Strategis lainnya menya- takan kehendak menjaga pertiwi dengan partisipasi aktif, bertanggung jawab, dan patriotik. Mari kita merenung lalu kembali setelah berserakan dengan kepentingan sendiri-sendiri, kembali pada amanah juang para moyang, amanah luhur para leluhur membangun Indonesia jaya, dimana Kehendak Perenial Pancasila telah diguratkan sepanjang Katulistiwa. Hindari diri dari penyimpangan kehendak batin negeri!!

Pancasila Universalitas Ideologi-ideologi Dunia
Pancasila merangkum hampir semua ideologi-ideologi Dunia, baikyang ada di Barat dan di Timur. Sepertinya hal ini terbaca dengan benar kondisi dan keadaan Dunia waktu itu yang tengah berlomba- lomba memenangkan pertarungan suatu Ideologi Besar Dunia. Pertarungan inilah yang kemudian bergolak memunculkan Perang Dunia II. Perang antara Fasisme dan Liberalisme, yang di sisi lain ditingkahi oleh Komunisme. Usai Perang Dunia II pun giliran Liberalisme dengan etos kapitalismenya saling berseteru dengan Komunisme. Perseteruan dua Ideologi ini memunculkan Perang Dingin yang memilah Dunia menjadi dua blok; Blok Timur dan Barat. Hanya saja dengan keberanian Indonesia mengambil sikap politik luar negeri "Bebas Aktif", Indonesia tidak terkelompokkan ke dua blok itu. Langkah Indonesia ini ternyata banyak yang mengamini di belakangnya hingga lahirlah Gerakan Non-Blok.

Gerakan Non-Blok dan Politik Luar Negeri "Bebas Aktif" merupakan refleksi dan manifestasi dari nilai-nilai etis Pancasila yang hendak menjadikan Watak dan Mental Bangsa ini seimbang. Terlebih pula untuk mewujudkan perdamaian hakiki di muka Bumi, sebagaimana ini merupakan spirit egalitarainisme (Persatuan dan Kebersamaan) dan sisi-sisi patriotis yang diamanahkan oleh Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
Jika kita melihat secara komprehensif semua nilai dan bunyi sila Pancasila, maka jelas dan menjelaskan mengapa Indonesia harus mengambil posisi Non-Blok itu atau lebih umum posisi netral dan seimbang. Hanya Indonesia kini tengah menuntu kepada para pemangku pemerintahan untuk menjaga konsistensi posisi keseimbangan ini alias Non-Blok.

Mari kita lihatsila-sila Pancasila itu. Sila Pertama, "Ketuhanan Yang Maha Esa," merupakan sebuah implifikasi dari etika relijius dari Agama yang ada di pangkuan negeri ini untuk berperan dalam proses kemenjadian bangsa ini. Di sini Agama tidaktermasuk negara, tetapi Agama bisa menginspirasi nilai-nilai negara. Agama turut pula memberikan sumbangsih pembangunan Bangsa dan Negara, baik saat pen- dirian bangsa ini yakni saat perjuangan mempertahankan kemerdekaan maupun dalam perjuangan-perjuangan penggagasan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka bagi mereka yang berkecenderungan akan Negara Ketuhanan sebenar- nya Pancasila telah mencukupinya dengan sila ini. Di Dunia ada Negara-bangsa yang dibangun dengan semangatdan Ideologi ini. Dan bangsa ini juga me- nyertakannya dalam level-level yuridis maupun praktis. Bukankah setiap kita diminta sumpah jabatan se- lalu untuk bersumpah atas nama dan melibatkan Tuhan?

Sukarno mengatakan, saat pidatonya di BPUPK (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) yang dikenal dengan lahirnya Pancasila, bahwa Prinsip Indonesia Merdeka (adalah) dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. "Prinsip Ketuhanan!," Katanya. "Bukan hanya bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan." Demikian sambung Sukarno.

Sila Kedua, "Kemanusiaan YangAdildan Beradab," merupakan sila yang menyertakan bangsa ini dalam pergaulan dunia lebih luas. Sila ini mengakui universalitas nilai-nilai humanisme. Dengan ini, bangsa ini tidak berkeberatan hati untuk terlibat dalam segala polemik kemanusia di dunia untuk mewujudkan perdamain dan kesejaheraan yang berkeadilan, sebagai penghargaan atas nilai kemanusiaan itu sendiri. Maka wajar bila, negara-bangsa ini berkeberatan jika masih ada penjajahan di muka bumi ini dan penindasan atas nilai dasar kemanu-siaan. Humanisme dan HAM ada dalam cakupan sila ini, jadi Pancasila tidak melupakan apalagi meninggalkan sesuatu yang azasi dalam hidup Manusia dan dalam diri Manusia.

Dunia mengenalkan nilai-nilai ini di bawah nama suatu ideologi, yakni Internasionalisme. Internasionalisme dalam sikap dan turunan tindakannya ialah sikap kosmopolit seorang Individu. Tetapi jika nilai- nilai ini diterjemahkan dalam sila kedua Pancasila, sikap Kosmopolit ini lebih sublim didorong untuk menjadi tindakan menghargai kemanusia, memanusiakan manusia. Maka penjajahan itu tak sejalan dengan nilai ini sampai kapanpun. Pancasila dengan sila kedua mendorong Manusia Indonesia untuk bersikap menjunjung harkat dan martabat manusia tak lebih dan tak kurang.

Sila Ketiga, "Persatuan Indonesia," merupakan nilai yang menjaga dan melindungi kita. Sejak 17 Agustus 1945 kita telah dan sedang selesai menyamakan rasa kebangsaan menjadi Organisme Nasional, yang disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia (Strong united Country). Bangsa ini satu dalam perbedaan, dan berbeda untuk menjadi satu. Jika orang Madura, misalnya, didzalimi dan ditelantarkan hak-hak hidupnya, maka seluruh anak negeri terpanggil untuk menjaga dan saling melindunginya di bawah payung NKRI. Pun demikian dengan saudara-saudara negeri lainnya. Dengan sila ini, Pancasila menyamakan rasa menyatukan cita-cita: menjadi bangsa terhormat di dunia dengan bersatu teguh menjadi bangsa.

Sila inilah yang menurunkan nasionalisme, di mana ketika Negara-bangsa bermunculan di awal abad 20 nasionalisme kesukuan banyak bermunculan hingga lahir beberapa Negara yang dibangun atas dasar kesamaan suku dan ras. Tetapi nasionalisme Indonesia adalah Nasionalisme Pancasila yang merangkum keberagaman dan keberbedaan (Bhinneka) dalam Esensi Kesatuan (Tunggal Ika)Pancasila dan Tanah Air Indonesia. Di sini lah terletak Tujuan Eksistensial pendirian Negara-Bangsa Indo¬nesia.

Sila Keempat, "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan," merupakan sila yang mengakui bahwa kepentingan bersama lebih penting dari pada kepentingan pribadi atau kelompok (primordial). Dalam sila ini prinsip-prinsip demokrasi diterjemahkan dalam kebersamaan, kekeluargaan permusyawaratan dan mufakat yang diambil berdasarkan kebenaran. Sementara demokrasi ini yang kini tengah hangatdan diusahakan oleh dunia untuk terselenggara lebih bercorak liberal yang dapat tidak mengindahkan kepentingan dan kemaslahatan umum.

Maka jauh sebelum demokrasi dikampanyekan di abad ini sudah lama negara-bangsa ini meletakkan prinsip-prinsip dengan tatahan yang lebih baik dan positif dalam tata pergaulan kebangsaan dan kenegaraannya. Bagi merekayang berkecenderungan menyertakan prinsip demokrasi, Pancasila menyediakan yang lebih baik untuk akselerasi dalam proses menjadi bangsa Indonesia.

Sila Kelima, "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia," merupakan sila yang mencitakan terciptanya keadilan dan sosialisme kesejaheraan. Inilah Cita Ideal bangsa ini mendirikan Negaranya yaitu Keadilan Sosial dan Kesehateraan Sosial. Dengan sila ini bangsa ini telah jelas tujuannya; yakni menciptakan masyarakat yang kuat-ekonomi hidup sejahtera seniosa bertatahkan supremasi hukum yang teremban dalam nilai keadilan. Ini adalah bagian dasar dari semangat sosialisme dunia secara umum. Yang membedakannya ialah pelaksanaan dan pengejawantahan nilai sila ini harus bersendikan supremasi dan pelaksanaan Huku yang berkeadilan, sehingga tercipta masyarakat sejahtera merata.

Oleh karena itu, Segala tujuan pembangunan In¬donesia kini, baik materiil dan immaterial, harus bermuara pada kehendak cita-cita sila ini. Maka Pancasila dari sila pertama sampai lima telah cukup dan mencukupi anak negeri dalam pengaturan penghidupannya dalam berbangsa dan bernegara di bentangan katulistiwa ini. Pancasila di sini telah paripurna mengemban cita dan semangat memanusiakan manusia dari nilai-nilai universal ideologi- ideologi Dunia. Betapa tidak, sila pertama sampai lima mewajahkan nilai semua ideologi; Negara Ketuhanan, Humanisme Universal (HAM), Nasionalisme, Demokrasi, dan sosialisme atau negara kesejahteraan. Setelah Pancasila apalagi?

Agama, Budaya dan Kemanusiaan
ESENSI dari Sila pertama Pancasila adalah komitmen memuliakan Sang Maha Pencipta dengan sebenar-benarnya, dalam rangka menjaga keluhuran penciptaan manusia di muka bumi. Sila ini akan men- jadi pintu pengabdian bagi pengamalan keempatsila lainnya dengan semangat keterpanggilan untuk mewujudkan ketaatan atas hukum-hukum kemutlakan yang menjadi keyakinan tanpa prasyaratatas nilai- nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sila Pertama, "Ketuhanan Yang Maha Esa," sesungguhnya merupakan modal terbesar Bangsa ini untuk mendayagunakan potensi agama di negeri ini sebagai kohesifitas integrasi bangsa dan modalitas daya ungkit kapasitas Bangsa dalam tataran strategisnya di tengah tantangan era Globalisasi. Sila ini merupakan tumpuan perwujudan cita-cita besar

Bangsa ini yang amanah terhadap gagasan Indone¬sia yang hakiki. Ini bermakna seluruh arah gerak dan ayunan langkah kebangsaan harus bersandar pada sumber inspirasional yang paripurna yakni yang datang akibat ketaatan pada kehendak dan ketetapan llahi. Demikianlah hakikat Indonesia [divine nature of being of Indonesia).
Hakikat Indonesia adalah mata air pencerahan kehidupan beragama yang memberikan makna mendasartentang ingatan-ingatan transendental yang melingkupi arah kebangsaan Indonesia. Pada nyatanya, divine nature of being of Indonesia yang relijius ini niscaya akan mampu menghantarkan potensi anak Bangsa pada tataran tertinggi kemajuannya. Dengan suatu prasyarat endapan-endapan keyakinan relijius itu mampu mengilhami segala bentuk langkah pembangunan sosial dalam seluruh sendi kehidupan bernegara dan berbangsa.

Maka, Agenda kebangsaan yang mendesak dipulihkan saat ini ialah gerakan kembali kepada Do'a Kesetiakawanan Nasional sebagai lecutan untuk menyadarkan bahwa terbangunnya Negara Bangsa ini sesungguhnya berkat karunia dan anugerah Tuhan
Yang Maha Kuasa. Selain sebagai ungkapan syukur kepada llahi dan ungkapan terimaksih kepada para pendahulu bangsa yang telah memperjuangkannya. Inilah hasilnya, suatu bentangan gugus negeri yang dulu dikenal Region Hindia Timur (Holanda Tropika) menurut penyebutan pemerintah Belanda, terbentang dari Sabang sampai Merauke dengan lebih dari 17.640 pulaunya, yang kini kita sebut Indonesia Raya.

Penyatuan semangat altruisme serta rasa sepende- ritaan senasib dan sepenanggungan antar anak Bangsa, yang telah teruji dalam lintasan peradaban mengusir penjajah dari Bumi Persada Nusantara sesungguhnya adalah refleksi kesadaran utuh atas keagungan Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian Negara Bangsa ini (Nation State)adalah Negara yang kaya bentuk-bentuk kearifan yang bersumber pengalaman Religi dan budaya-arif. Kini tugas besarnya adalah bagaimana mensemestakan Sumber Daya ini kedalam sinergi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga terselenggara medium yang lebih besaryakni pelaksanaan ajaran agama masing- masing dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Potensi Religi ini yang berbentangan di batas antara Rumah Ibadah dan Rumah Keluarga, jika terolah dan termenej kedalam kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara dengan kemampuan toleransi antar sesama penganut agama, maka keharmonisan dalam Rumah Indonesia akan membawa berkah gemilang. Untuk mengoptimalkannya dan didorong oleh semangat menggapai kejayaan dalam rangka mewujudkan cita-cita kemerdekaan, mari kita renungkan apa maksud adanya sila ini seraya meraih kedalaman nurani untuk mewujudkan (to realize) Indonesia selaras Jasmani dan Rohani, Lahir dan Batin.
Upaya menyublimkan sari nilai sila Pertama Pancasila perlu dianjungkan sebagai ruh motivasi Gerakan Aksi Langsung Amalkan Sejak Dini (GALAKSI) sila-sila empat lainnya di tengah-tengah masyarakat kedalam segala tata prilaku, tindak tanduk hubungan sosialnya serta arah wawasan kebangsaan, sehingga tercipta tatanan masyarakat negara yang mengindahkan etika-moral dan nilai kebenaran yang bersumber dari keyakinan relijius para pelaku. Agar upaya-upaya penyatuan asas-asas keterpaduan dapat menembus seluruh sisi kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

Suasana kehidupan beragama yang kondusif adalah prasyarat membangun bentuk dan konsep Galaksi (Gerakan Aksi Langsung Amalkan Sejak Dini) Pancasila, agardapatditerima sebagai sebuah modal sosial untuk menempatkan potensi umat beragama sebagai agen pembaharuan yang berdaya kohesif dalam mewujudkan Negara Kesejahteraan. Dalam suasana relijiusitas yang kental, yang mampu memberikan landasan bagi prakarsa-prakarsa positif pembangunan sosial, memungkinkan anak Bangsa berperan menyemangati implementasi ajaran agama itu sendiri dalam capaian-capaian komitmen kebangsaan.
Untuk menjangkau wawasan-wawasan kebangsa¬an yang integratif dalam Galaksi (Gerakan Aksi Langsung Amalkan Sejak Dini) Pancasila, seluruh amanat kebangsaan yang dipikul dan diemban anak bangsa harus mampu mengandungi 3 (tiga) komitmen mendasar.
Pertama, bahwa Toleransi antar umat beragama adalah toleransi untuk memuliakan manusia atas dasar kesempurnaan penciptaannya yang bersumber dari kejujuran diri, akal sehat, Budi pekerti dan kemampuan mentaati ajaran Agama itu sendiri.

Kedua, suasana kehidupan berbangsa dan bernegara yang dinamis sesungguhnya sangat tergantung dari tumbuhnya pendirian rumah-rumah ibadah di tanah air yang mampu mengilhami etos kerja yang bermutu, sikap diri yang baik dan mental untuk hidup maju dan mulia.
Ketiga, penguatan kehidupan rohani yang partisipatoris dalam andil pengembangan masyarakat yang mandiri dan maju adalah modal besar meneguhkan eksistensi NKRI di dalam arus Globalisasi yang tengah menghampiri kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Sila pertama ini merupakan pilar untuk memberikan ruangan seluas-luasnya bagi semaraknya perikehidupan keagamaan yang dipraktikkan oleh komuniter-komuniter masyarakat yang sadar sepenuhnya, bahwa mendisain Manusia Indonesia Pari- purna adalah satu bentuk konsolidasi nasional. Yakni suatu konsolidasi anak Bangsa yang terus menerus memberikan penguatan pada kehidupan rohani segenap komponen Bangsa dalam menaikkan Kualitas Kapasitas Nasional. Sehingga terbitSumber Daya Insani yang berkarakter, tegas, amanah, tekun dan antusias mendedahkan cita-cita bangsa yakni mandiri, maju, dan sejajar di lingkungan pergaulan Internasional.
Pranata-pranata sosial yang lestari di tengah masyarakat di tanah air, yang menjunjung kebijaksanaan atas kearifan lokal, sesungguhnya patut dilestarikan sebagai aset budaya bangsa. Dengan suatu ancangan penyingkapan bahwa sejatinya gugusan negeri lintasan katulistiwa apitan dua samudra dunia yang kita banggakan ini adalah Negeri Gemintang yang sarat dengan aktivitas-aktivitas relijius dan sikap kerohanian dari para penduduknya. Hal ini menjadi sumber inspirasi anak Bangsa mewujudkan cita-cita proklamasi dan bekalan untuk mengarung kemerdekaan.

Dalam Galaksi (Gerakan Aksi Langsung Amalkan Sejak Dini) Pancasila dibutuhkan upaya maksimal mengasah kepekaan hati untuk memandu tugas-tugas kemasyarakatan yang sarat dengan nilai-nilai keberpihakan pada kemuliaan ajaran agama; dan dalam mewujudkan suatu umat taat ajaran dan inspiratif bagi kemajuan bangsa menjadi bekalan kejayaan Negeri dalam mengawal cita-cita Prokla- masi. Terutama terhadap keutamaan hak-hak kemanusiaan, perlindungan oleh Negara Bangsa, dan penghormatan dalam prinsip-prinsip Demokrasi Pancasila serta maksimalisasi capaian kesejahteraan dalam keadilan bagi seluruh anak Bangsa.
Persatuan Indonesia merupakan satu di antara empat sila lainnya dari Pancasila, yang secara kasat mata menjadi pilar eksistensi bangsa yang kita miliki ini, bangsa Indonesia. Sangatlah jelas jika konsep Persatuan Indonesia selama ini senantiasa diberi makna berkaitan dengan Kebudayaan Nasional, khususnya kebahasaan.
Memang, keadaan kebahasaan di Bumi Pancasila tercinta ini amat kompleks karena terdapat sejumlah besar bahasa. Di samping bahasa Indonesia (Bl) dipakai juga bahasa-bahasa daerah (BD), yang konon lebih dari 760 -an jumlahnya, berserta variasi- variasinya, dan bahasa asing (BA) tertentu, yang dipakai dalam kehidupan sosial serta aktivitas sehari- hari kita ini, sesuia dengan fungsi, situasi, serta konteks penggunaannya.

Gambaran tersebut jelas menunjuklcan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa multilingual/multikultur/multietnik. Bahkan jika dihubungkan dengan adanya variasi-variasi bahasa tersebut, yang berbeda-beda fungsi sosiolinguistiknya, keadaan kebahasaan kita ini juga diglosik (ada pemakaian bahasa resmi dan bahasa takresmi). Namun, itu semua haruslah dianggap sebagai sebuah anugrah dari Yang Maha Pencipta, sesuatu yang senantiasa harus disyukuri.
Dengan kata lain, ciri multilingual/multikultural tersebut haruslah dianggap sebagai khazanah kebuadayaan, yang justru memperkaya manifestasi kebudayaan Indonesia, bukan untuk mempertajam pembedaan-pembedaan wilayah budaya/bahasa; semboyan bangsa Bhinneka Tunggal Ika itu harus mendapatkan tempatyang nyata dalam kebijaksana- an penghidupan budaya nasional dan daerah, bahkan akan lebih terarah menuju terwujudnya suatu kehidupan kebudayaan yang didukung oleh segenap golongan budaya di seluruh Nusantara ini. Seperti halnya dengan masalah kebahasaan; implementasi pembagian fungsi dan kedudukan bahasa-bahasa tersebut secara umum sudah jelas: Bl berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara/bahasa resmi, BD berfungsi sebagai bahasa komunikasi intradaerah, dan BA berfungsi sebagai bahasa komunikasi internasional umum. Dengan dasar amanat Sumpah Pemuda 1928, dalam kedudukan- nya sebagai bahasa nasional, antara lain, ia berfungsi sebagai lambang jati diri nasional, lambang kebanggaan nasional, dan alat pemersatu berbagai kelompok etnik yang berbeda latar belakang sosial budaya dan bahasa di bumi Pancasila ini.

Kaitannya dengan Globalisasi, peran Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa yang multilingual/multikultural amat diperlukan di dalam menyikapi nilai-nilai asing yang menginviltrasi budaya kita. Nilai- nilai baru itu tentunya harus diseleksi, sehingga sebagai ideologi terbuka, Pancasila berperan sebagai filter dalam memilah-milah nilai-nilai yang masuk itu. Bahkan, sebagai ideologi atau ajaran, Pancasila akan berperan sebagai koridor yang memberikan arahan secara baik dan benar sehingga masyarakat tetap berada dalam satu koridor di dalam mencapai tujuan bersama. Untuk itu, pemimpin-pemimpin bangsa tercinta dari semua level harus memfungsikan Pancasila dalam kerangka fungsi alat pemersatu atau alat perekat bangsa, bahkan pemandu bangsa dalam membangun budaya nasional dan peradaban.
Sebagai contoh, globalisasi yang bersumberkan kebudayaan bangsa lain, khususnya Amerika, seperti Hollywood, dan India, seperti Bollywood, sedang mewarnai kehidupan warga bangsa kita, terutama kota-kota besar. Ini berkaitan dengan nilai-nilai dan produk dalam aneka bidang kehidupan, mulai dari hiburan dan kesenian hingga teknologi informasi, bahasa, bahkan pemikiran. Kesan dalam adalah bahwa globalisasi itu merupakan pengikisan nilai dan aneka unsur kebudayaan bangsa. Hal ini amat mengkhawatirkan akan melenyapkan jati diri bangsa dan citra bangsa kita pada masa akan datang. Bahkan, ini erat kaitannya dengan persoalan pertahanan keamanan, demi menjaga keutuhan nasional.

Pada akhirnya, aktualisasi dari Persatuan Indone¬sia itu ditandai oleh cara warga bangsa Indonesia berbuat, berprilaku, yang akan tercermin dalam tingkat penerimaan nilai/budaya lain yang menyerbu lumbung budaya negeri. Oleh karena itu, jika penghayatan, pemahaman, dan pengamalan sila ketiga dari Pancasila yang di masa lalu dilakukan secara tidak baik dan benar, untuk masa akan datang haruslah dapat diwujudkan dalam format yang lebih baik, misalnya dengan cara membangun Semesta Inisiatif Prilaku melalui berbagai instrumen sosialisasi dan edukasi keteladanan yang dipatrikan dalam sejarah juang pemimpin-pemimpin bangsa, pada seluruh tataran.
Yang menjadi catatan penting dalam membangun sinergitas nilai-nilai relijius Agama dan nilai kearifan tradisi dan budaya adalah semua tatanan itu meluncur mencapai menara kebudayaan yang manusiawi. Jika hal ini tidak terpenuhi, maka tidak mungkin sendi-sendi kehidupan berbangsa, dan tentu peradaban itu sendiri, terbangun rapih dan kokoh.
Nilai kemanusiaan adalah elemen nilai yang harus mengandungi setiap gerak relijiusitas ajaran dan aturan agama dan budaya maupun tradisi. Sebab yang akan menjalankan tatanan bentuk apapun, dan yang menerima efek-baliknya, adalah manusia sendiri.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini