Ditulis oleh : Ronny P Sasmita, Analis Ekonomi Politik Internasional Financeroll Indoneisa
TRIBUNNERS - Jika menggunakan metodologi IMF seperti yang diterapkan oleh Khoon Goh, Senior Foreign-Exchange Strategist ANZ, Tiongkok diperkirakan membutuhkan minimal US$ 2,7 triliun dari cadangan devisanya untuk mempertahankan rezim nilai tukar tetap (fixed exchange-rate) tanpa menerapkan kebijakan kontrol devisa (capital control).
TRIBUNNERS - Jika menggunakan metodologi IMF seperti yang diterapkan oleh Khoon Goh, Senior Foreign-Exchange Strategist ANZ, Tiongkok diperkirakan membutuhkan minimal US$ 2,7 triliun dari cadangan devisanya untuk mempertahankan rezim nilai tukar tetap (fixed exchange-rate) tanpa menerapkan kebijakan kontrol devisa (capital control).
Ini berarti bahwa dengan tingkat pengurangan devisa yang terjadi belakangan ini, cadangan devisa Tiongkok hanya cukup untuk intervensi selama setengah tahun lagi.
Atas pertimbangan ini pula, pasar global dipastikan kian cemas.
Atas pertimbangan ini pula, pasar global dipastikan kian cemas.
Para investor nampaknya akan bereaksi negatif setelah Tiongkok mengumumkan cadangan devisanya yang ternyata berkurang US$ 99,5 miliar sepanjang Januari 2016.
Karena pengumuman data cadangan devisa berlangsung di saat long weekend, terutama untuk negara Tingkok, Hong Kong, Singapura, Taiwan, Korea Selatan dan Indonesia.
Sehingga reaksi pasar Asia belum terlalu terlihat secara keseluruhan.
Nampaknya dengan pengurangan tersebut, maka cadangan devisa Tiongkok turun menjadi US$ 3,23 triliun.
Nampaknya dengan pengurangan tersebut, maka cadangan devisa Tiongkok turun menjadi US$ 3,23 triliun.
Ini merupakan cadangan devisa terendah China sejak 2012 dan hanya sedikit diatas angka cadangan yang disebutkan Khoon Goh tadi.
Artinya, Tiongkok memang sedang berdiri di landasan yang kian meragukan banyak investor global meskipun dana cadanga devisa negara ini terhitung yang terwahid di seluruh dunia.
Negara Tembok Besar ini memang sedang berjuang habis-habisan menopang mata uang yuan di tengah derasnya arus modal keluar dari negara.
Negara Tembok Besar ini memang sedang berjuang habis-habisan menopang mata uang yuan di tengah derasnya arus modal keluar dari negara.
Sepanjang 2015, cadangan devisa Tiongkok turun US$ 512,66 miliar menjadi US$ 3,33 triliun.
Cadangan devisa negeri Tembok Besar ini tergerus untuk membiayai kebijakan intervensi nilai tukar Yuan.
Bahkan, menurut Institute of International Finance, di sepanjang tahun lalu dana yang keluar (capital flight) dari China tercatat mencapai US$ 700 miliar.
Dana yang keluar ini, terutama dana dari investor Tiongkok sendiri, selidik demi selidik, ternyata memang singgah di berbagai perusahaan besar Asia Pasifik atas perjanjian akuisisi.
Dana yang keluar ini, terutama dana dari investor Tiongkok sendiri, selidik demi selidik, ternyata memang singgah di berbagai perusahaan besar Asia Pasifik atas perjanjian akuisisi.
Artinya, dana-dana ini keluar dari Tiongkok untuk mencari tempat-tempat yang jauh lebih menjanjikan dan menguntungkan.
Tahun lalu, perusahaan-perusahaan asal Tiongkok getol mencaplok perusahaan berskala internasional, terutama yang berlokasi di Asia Pasifik.
Alhasil separo dari total nilai transaksi merger dan akuisisi di kawasan Asia Pasifik disumbang oleh korporasi asal negeri Tembok Raksasa.
Alhasil separo dari total nilai transaksi merger dan akuisisi di kawasan Asia Pasifik disumbang oleh korporasi asal negeri Tembok Raksasa.
Berdasarkan data Bloomberg Desember tahun lalu, aksi merger dan akuisisi yang melibatkan perusahaan di wilayah Asia Pasifik tahun 2015 melonjak 55% menjadi US$ 1,2 triliun.
Dan tercatat pula bahwa separo dari total akuisisi di Asia Pasifik itu adalah milik perusahaan-perusahaan Tiongkok yang tercatat menyumbang sebesar $ 600 miliar.
Dan dalam logika ini pula sebenarnya kita bisa memahami mengapa investor-investor Tiongkok begitu bernafsu untuk masuk ke Indonesa untuk menanamkan dananya dalam berbagai sektor yang ditawarkan pemerintah.
Ditambah lagi pada Januari 2016, secara mengejutkan, bank sentral the People's Bank of China (PBOC) kembali melemahkan mata uangnya secara tajam alias melakukan devaluasi kurs Yuan.
Ditambah lagi pada Januari 2016, secara mengejutkan, bank sentral the People's Bank of China (PBOC) kembali melemahkan mata uangnya secara tajam alias melakukan devaluasi kurs Yuan.
Yang terjadi sudah sangat bisa ditebak.
Kebijakan ini langsung mendorong aksi jual di pasar Tiongkok dan memicu gejolak di bursa global seiring meruyaknya kekhawatiran pasar bahwa yuan akan anjlok lebih dalam.
Akhirnya kondisi ini pun malah mendorong otoritas Tiongkok untuk melakukan intervensi lagi demi menahan pelemahan Yuan lebih lanjut.
Akhirnya kondisi ini pun malah mendorong otoritas Tiongkok untuk melakukan intervensi lagi demi menahan pelemahan Yuan lebih lanjut.
Namun disisi lain, untuk menopang mata Yuan, Tiongkok tentu harus menjual dollar AS.
Inilah yang membuat pasar khawatir karena cadangan devisa Tiongkok, yang sampai saat ini masih merupakan cadangan devisa terbesar di dunia, akan semakin terkuras.
Sepanjang tahun 2015 saja, cadangan devisa Tiongkok sudah tergerus sebesar US$ 512,66 miliar menjadi US$ 3,33 triliun.
Sepanjang tahun 2015 saja, cadangan devisa Tiongkok sudah tergerus sebesar US$ 512,66 miliar menjadi US$ 3,33 triliun.
Cadangan devisa negeri Tembok Besar ini tergerus untuk membiayai intervensi nilai tukar Yuan dan suntikan-suntikan liquiditas lainya ke dalam sistem perbankan mereka.
Jika tren percepatan penyusutan devisa seperti Desember lalu terus berlanjut di Januari, maka banyak pihak, terutama pelaku pasar, akan berjuang menekan otoritas Tiongkok untuk lebih terbuka dalam komunikasi mereka.
Transformasi structural atau sering pula disebut dengan istilah Rebalancing China ini memang tak akan berlangsung cepat.
Transformasi structural atau sering pula disebut dengan istilah Rebalancing China ini memang tak akan berlangsung cepat.
Besar kemungkinan, Tiongkok membutuhkan waktu beberapa tahun untuk kembali pulih dan mulai menunjukan performa yang signifikan.
Maka dari itu, Nagara-negara Asia, bahkan seluruh dunia, harus benar-benar menyiasati perlambatan ekonomi Tiongkok ini dengan sangat bijak sana.
Imbasnya sudah sangat terasa, terutama terhadap rantai dagang Tiongkok.
Gembar-gembor negatif soal Toshiba, Sharp, atau Panasonic, pada awalnya adalah buah dari perlambatan ekonomi Tiongkok yang kemudian memperkecil tingkat penjualan ketiga perusahaan elektronik ini.
Gembar-gembor negatif soal Toshiba, Sharp, atau Panasonic, pada awalnya adalah buah dari perlambatan ekonomi Tiongkok yang kemudian memperkecil tingkat penjualan ketiga perusahaan elektronik ini.
Kemudian malah membawa ketiganya ke dalam tahap diminishing return dimana aktifitas produksi sudah tidak efisien lagi jika dibanding dengan kapitalisasi penjualan.
Sehingga mau tak mau, harus direstrukturisasi.
Toshiba sudah hampir mencapai kesepakatan final dengan Foxcon dari Taiwan perkara akuisi dan diperkirakan akan mencapai kesepakatan pula dengan Konica serta Fuji Film untuk akuisisi anak usaha Toshiba di bidang peralatan kesehatan.
Toshiba sudah hampir mencapai kesepakatan final dengan Foxcon dari Taiwan perkara akuisi dan diperkirakan akan mencapai kesepakatan pula dengan Konica serta Fuji Film untuk akuisisi anak usaha Toshiba di bidang peralatan kesehatan.
Panasonic-pun tak jauh berbeda, akan ada restrukturisasi besar-besaran, termasuk reformasi teknologi produksi yang jauh lebih efisien.
Inilah yang kemudian akan menjadi pintuk masuk kebijakan-kebijakan PHK sebagaimana yang ditakutkan banyak pihak di Indonesia.
Selain urusan ancaman PHK, perlambatan ekonomi Tiongkok juga akan membawa pelemahan demand terhadap komoditas-komoditas non migas Indonesia mengingat Tiongkok adalah mitra dagang nomor dua (setelah US) ibu pertiwi untuk ekspor komoditas non migas.
Selain urusan ancaman PHK, perlambatan ekonomi Tiongkok juga akan membawa pelemahan demand terhadap komoditas-komoditas non migas Indonesia mengingat Tiongkok adalah mitra dagang nomor dua (setelah US) ibu pertiwi untuk ekspor komoditas non migas.
Dan celakanya, dari sisi yang lain, perlambatan ekonomi Tiongkok juga ikut menekan harga komoditas global yang berawal dari semakin memburuknya permintaan minyak dunia.
Walhasil, selain akan kian menipisnya demand dari Tiongkok, harga komoditas andalan ekspor Indonesia pun akan terbawa jatuh yang kemudian akan memangkas penerimaan negara dari sisi pajak ekspor komoditas non migas.
Tentu akhirnya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang memang sudah terseret-seret akan kembali terancam.
Tentu akhirnya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang memang sudah terseret-seret akan kembali terancam.
Sehingga beberapa hal harus segera dilakukan pemerintah.
Pertama, pemerintah harus menyegerakan realisasi belanja pemerintah karena ini akan sangat membantu menjaga pertumbuhan.
Kedua, mendorong investasi dengan berbagai paket kebijakan deregulasi, debirokratisasi, dan insentif investasi.
Ketiga, memberikan prioritas kepada investasi padat karya untuk mengantisipasi melebarnya pengangguran dan PHK.
Keempat memberi ruang yang besar untuk tumbuh dan kokohnya UMKM. Sektor ini terbukti bertahan dengan gagah di era krisis 1997 dan 2008 lalu.
Keempat memberi ruang yang besar untuk tumbuh dan kokohnya UMKM. Sektor ini terbukti bertahan dengan gagah di era krisis 1997 dan 2008 lalu.
Kelima, melalui departemen terkait, pemerintah harus fokus untuk membangun SDM yang handal dengan kompetensi yang tersertifikasi.
Keenam, menjaga stabilitas mata uang karena ketidakpastian nlai tukar akan sangat mengganggu rencana strategis dunia usaha dan akan memukul industry yang berbasiskan barang modal dan bahan baku import.
Dan terakhir, mempertimbangkan penurunan lebih lanjut suku bunga acuan (BI Rate).